Feb 19, 2012

Saatnya "Melawan" secara BARU

Kerja Sama Trilateral
Potong Birokrasi yang Berbelit

Oleh: Ermalindus Sonbay, putra daerah Kefamenanu. 

Patologi birokrasi yang akut telah mencerai Indonesia dalam banyak bidang, khususnya dalam semangat mengedepankan transparansi dalam birokrasi. Kehancuran negara yang didirikan Soekarno ini akhirnya menjadi sesuatu yang nyata. Jakarta sentris yang berusaha dihapuskan sejak reformasi bergulir hanyalah omong kosong belaka, bahkan tema ini menjadi jualan politik yang basi. Semangat membangun daerah berbasis otonomi terbentur strategi dan grand design pemerintah pusat yang katanya gemuk dan busuk karena aroma polusi dan kemacetan yang tak kunjung selesai. Untuk mengatasi kemacetan dan polusi serta berbagai persoalan urban di Jakarta saja pemerintah tidak mampu, dan keadaan terburuk dialami oleh jutaan penduduk yang tinggal jauh dari Jakarta.

Untuk mengurus daerah sendiri, seperti NTT, segala sesuatu harus datang dari Jakarta. Jakarta bahkan tidak pernah memberikan kesejukan sedikit pun. Jakarta bahkan tidak pernah tahu apa yang sudah begitu akut di level akar rumput. Suara perubahan mentok karena hanya ditumpuk di belakang meja para petinggi pemilik “RFS” yang katanya sejuk dengan AC yang super elite.

Kerja sama trilateral berbasis semangat kedaerahan merupakan salah satu bentuk kerja sama yang boleh jadi urgen untuk situasi NTT. Mengapa potensi bertetangga dengan Timor Leste dan Negara Bagian Australia Utara tidak bisa dibangun dengan mantap. Dilli-Kupang-Darwin [DKD] adalah ideal mengembangkan potensi tiga wilayah yang masing-masingnya memiliki sedikit kesamaan.

Darwin cenderung menjadi bagian yang agak ditinggalkan di Australia. Timor Leste dan NTT juga terbelit dengan kasus kemiskinan dan keterbelakangan warisan kolonialisme. Nah, untuk membuka mata pusat-pusat pemerintahan yang korup dengan peselingkuhan tak senonoh yang terus dilakukan dengan kalangan pemilik modal, kreativitas anak-anak daerah menjadi sesuatu yang penting.

Feb 17, 2012

Pencemaran Laut Timor (Kegagalan Diplomasi Indonesia)

Oleh: Ermalindus Sonbay

Daerah di luar pulau Jawa merupakan anak kandung NKRI yang menjalani hari-hari hidupnya sebagai anak tiri. Stigma kemiskinan dan keterbelakangan Indonesia justeru menjadi jelas di wilayah-wilayah ini. NTT sebagai salah satu provinsi yang dikategorikan miskin dan terbelakang hingga kini belum juga mampu hadir sebagai bagian utuh dan integral dari NKRI. Bukan cuma problematika sosial yang kompleks, hal-hal miris lainnya seolah terus dibebankan pada provinsi dengan ikon komodo ini.

Pencemaran laut Timor yang merugikan nelayan-nelayan NTT seakan bukan merupakan soal penting. Padahal, luas pencemaran yang sudah melebihi separoh luas wilayah NTT ini membuat setengah dari nelayan NTT tidak bisa bekerja maksimal. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga lagi, NTT kian terseok sebagai salah satu provinsi yang tak diperhatikan. Setelah luas dan batas wilayah NKRI dikikis pasca-hilangnya gugusan pulau pasir (ashmore reef), urusan kepemilikan laut Timor oleh tiga negara, Australia-Indonesia-Timor Leste kian amburadul. Celah Timor hampir tidak memberi kontribusi sedikit pun bagi kemajuan dan perkembangan NTT serta Indonesia umumnya.

Feb 16, 2012

Prosa Liris ( Setungku Api )


Oleh: Monika N. Arundhati

Monika N. Arundhati
Monika
Malam ini malam Kamis. Sedang duduk aku di hadapan setungku api. Ada sunyi  berteriak keras di sepanjang koridor jiwa. Sebuah angin. Daun-daun jatuh.  Dan bersama  rindu yang kutuang ke dalam secangkir  teh, kukisahkan peristiwa itu kembali untuk kau kenang;

Ketika itu  kau berkata padaku lewat sebuah pesan singkat:
“Jika aku adalah pagi, maka kau adalah mataharinya. “ 
“Dan jika aku adalah langit kelabu, kaulah pelanginya.” Aku membalasmu.
“Kau adalah puisi..” katamu lagi
“Dan kaulah diksi dan rima puisi itu..” lagi balasku.
“Ehemmh.. Bagaimana jika aku adalah sepanci air?” tanyaku.
“Jika kau sepanci air, maka akulah api yang menghantarkan panas kepada panci itu untuk mendidihkannya..”
“Apabila aku adalah setungku bara api yang ketika didekati pasti akan membakar orang yang mendekatinya, jadi apa kau? Dan apa yang akan kau perbuat terhadap api itu?" tanyaku sekali lagi.
“Jika kau adalah bara api yang dapat membuat terbakar  saat didekati, maka aku akan menjadi penjaga bara api itu dan melarang orang-orang untuk tidak bermain-main dengannya, atau bahkan menyarankan mereka untuk menjauhinya. “

Feb 15, 2012

Belajar dari Singapura


Oleh: Ermalindo Albinus Joseph Sonbay

Ermalindus Sonbay
Ideal membentuk negara dengan sentralisasi pada pergerakan kota (Polis) mungkin klasik dan ketinggalan jaman. Yang hanya membaca dan mengerti sepintas di permukaan boleh jadi akan mengatakan bahwa ini ideal Aristotelian dan Platonik yang sudah jauh dari perhatian, karena selain kadaluarsa dan tidak bisa in dalam klik pemerintahan post-modern, ideal ini juga seakan dipaksakan, apalagi di tengah masyarakat yang kian hari kian acuh terhadap pemerintahan yang ada dan dikembangkan.

Tapi mungkin baik kalau sedikit pandangan dilemparkan ke batas Barat-Utara Indonesia. Yah, Singapura. Negara kecil ini telah membuktikan kepada dunia bahwa tanpa kecukupan bahan baku, potensi energi yang minim bahkan untuk sepuluh tahun ke depan akan benar-benar berada dalam garis energi yang apa adanya, akan tetapi Singapura eksis di lingkup Asia Tenggara bahkan Asia sebagai salah satu negara yang mampu menunjukkan taringnya.

Genealogi negara ini memang dengan sendirinya harus memilih bentuk negara-kota, karena selain topografi dan demografinya menuntut demikian, kompleksitas persoalan di Singapura, khususnya persoalan sosial memiliki pusat bidik yang lain. Bandingkan dengan Indonesia yang harus terus berkutat pada persoalan sosial-urban, kemiskinan, pun soal-soal patologis lainnya di lingkup birokrasi.

Feb 13, 2012

Alfredo Alves Reinado's Story


Place of origin: Maubessi --- source

Alfredo Reinado (photo: Maubesi blogspot)
Alfredo Alves Reinando was killed in the apparent assassination attempt on President Jose Ramos Horta on 11 February 2008. After the Indonesian invasion, Alfredo and his family fled from advancing attacks. In 1978, at only 12 years of age, he was forced to work as a helper, TBO, for a soldier from Sulawesi. As a TBO he witnessed many military offensives. At the end of the soldier’s tour of duty, he took Alfredo, against his wishes, to South East Sulawesi. Alfredo was sent to school, but the soldier and members of his family often mistreated him. On one occasion after being severely mistreated, Alfredo ran away by bus and then boat to Kalimantan. He worked there for several years until 1986 when he was able to take a boat back to East Timor. He was 19 years of age.

In Dili Alfredo joined the clandestine movement and in 1995 led a boatload of East Timorese refugees to Australia. In Australia he worked in the shipyards in Western Australia, and after the referendum in East Timor returned home. After 2002 he entered the East Timorese military and was appointed commander of the Naval Unit. However, in July 2005 he was demoted because of misconduct and assigned to the military police. In 2006 he deserted to join a group of rebel soldiers who earlier had deserted, and in May 2006 was involved in an attack on Dili. Then followed manhunts, capture, escape from jail and further raids, until he was killed in February 2008, in circumstances which have still not been established.

Feb 2, 2012

OS PROTAGONISTAS DA GEURRA DE MANUFAHI

Amo Belo (foto: FH)
Na guerra de Manufahi foram vários os intervenientes, mas dois foram os protagonistas, quer pela condução das batalhas quer pela influência na história de Timor. Falamos de Dom Boaventura da Costa Souto Maior e de Filomeno da Câmara de Melo Cabral.

1º Dom Boaventura da Costa

Era natural de Same. E era filho de Dom Duarte da Costa e da senhora dona Rosa da Costa Noikerek. Dona Rosa era natural de Viqueque e era irmão do liurai Dom Mateus de Araújo (conforme Mestre António Vicente Soares) A minha opinião é de que Dona Rosa era irmã de Dom Mateus da Costa Rangel Pinto, régulo de Viqueque. Dom Boaventura teve um irmão, Vicente da Costa e duas irmãs: Maria da Costa e Quitéria da Costa.

Boaventura da Costa foi educado na escola das Missões Católicas, em Lahane (Díli). No Relatório sobre as Missões e estabelecimentos de ensino, o então Superior e Vigário Geral das Missões de Timor afirmava que Dom Boaventura “entrou no Colégio da Missão de Lahane em 1895, e foi raptado pelo povo de Manufahi em 1898, por ocasião da revolta daquele reino”. Nesse relatório, o nome dele era: Boaventura da Costa Fernandes.

A GUERRA DE MANUFAHI - Conclusão

Amo Belo (foto AP)
A guerra de Manufahi terminara. Dom Boaventura da Costa perdeu a guerra. Nos redutos de Riac e de Leo-Laco reinava silêncio. A população de Manufahi foi obrigada a sobreviver e a viver em silêncio. Mas palavra “Manufahi” corria de boca em boca por todo o território.

O governador Filomeno da Câmara celebrava a vitória e até permitiu a celebração da festa de corte de cabeças em Díli.

Pela primeira vez na história de Timor deflagrou um conflito de tamanhas proporções. O senhor Réné Pélissier, sobre cujo estudo nos baseámos para escrever breves crónicas afirma que um território de pequenas dimensões como o de Timor Português pudesse causar aos colonizadores tantos e tão difíceis problemas. E para poder dominar a revolta de Manufahi o governo colonial de teve recorrer ás forças regulares do exército e da marinha; às companhias de Moçambique; e teve de mobilizar, no território 6.234 moradores e mais de 108.000 guerreiros alistados em vários arraiais. A campanha dirigida pelo governador durou 221 dias. Filomeno da Câmara ganhou a guerra de Manufahi, mas quem lhe garantiu a vitória foram os Timorenses que formavam 99% do contingente governamental.

A GUERRA DE MANUFAHI – CONSEQUENCIAS DRAMÁTICAS

Amo Belo
(architectsofpeace.org)
Terminada a guerra de Manufahi, o governador Filomeno da Câmara tomou medidas drásticas em relação ao povo de Manufahi.

Dom Boaventura da Costa Souto Maior, régulo de Manufahi foi preso e levado para destino desconhecido. A 18 de Julho 1913, seria destituído de todas as honras: cessa as funções de régulo e perde a patente de coronel. Eram igualmente destituídos alguns régulos seus aliados: Dom Afonso Soares Pereira, rei-coronel de Bubiçuço; Dom Clementino Barreto Pereira, de Ulmera; Dom Miguel de Ermera.

Em Dili, foram presos alguns timorenses implicados na revolta: António de Ataíde, Luís de Ataíde, Manuel Bianco, Marçal Sequeira, Carlos da Costa Ximenes, Domingos de Sena Barreto, José Rafael de Araújo, Hipólito Mariano do Rego, Pio de Ataíde e Francisco do Rego.

As companhias de moradores de Díli, Sica (Colmera), Bidau, Aipelo e Batugadé foram dissolvidas. As companhias de moradores de Manatuto e Baucau foram transformadas em cipaios.

A GUERRA DE MANUFHAI – 3ª fase (continuação)

Amo Belo (foto Ramelau.com)
Os meses de Agosto, Setembro e Outubro de 1912 foram dramáticos para Dom Boaventura da Costa, para a família e para os seus combatentes. Pode-se dizer, foi um desastre geral para o povo assuwain de Manufahi. Derrotado e acossado pelas forças portuguesas e seus aliados (moradores e auxiliares timorenses) o povo de Manufahi tinha perdido tudo; casas, plantações, culturas, gado, etc.

O liurai Dom Boaventura estava escondido na floresta e nos pântanos de Betano. Da sua família, perdeu a mãe e os irmãos. Relata Jaime de Inso: “ Toda a família daquele famoso régulo foi decapitada no próprio solar, incluindo a mãe, cuja sorte ouvimos lastimar, porque se tinha mostrado amiga dos portugueses” (Timor 1912, p. 198).

Feb 1, 2012

A GUERRA DE MANUFHAI – 3ª FASE

http://ecx.images-amazon.com
Dom Carlos F.X.  Belo
Estávamos no mês de Julho de 1912. No dia 17, a 10 ª Companhia moçambicana chega a vila de Same, mas estava destruída. A companhia foi encarregada de ocupar a parte oriental da colina de Leo-Laco, num sítio chamado Bandeira. No dia 19 as forças governamentais lançam uma mina de 42 kg de pólvora que abre uma brecha na muralha de Riac.

Em consequência dessa acção, dá-se o assalto às regiões ao sul de Riac. No dia 20 os rebeldes atacam Bandeira. Após renhidos combates, o destacamento do governo toma o lado norte de Riac. No dia 21 de Julho Riac rende-se sem reservas. Os rebeldes tiveram 59 mortos. Da população, 4.536 pessoas foram presas. Os prisioneiros tinham em seu poder 342 espingardas, 1.100 azagaias, 1.800 espadas e nenhuma pólvora. Na tomada de Riac, os portugueses tiveram 40 mortos e 90 feridos. Os portugueses efectuaram 628 disparos e gastaram 30.000 cartuchos. O cerco de Riac durou 41 dias.

Hanorin “Lingua Materna”: Benção ka Maldição


Martinho G. da Silva Gusmão *)

Ohin loron ema ko’alia barak kona ba atu hanorin “língua materna”. Maibe, discussão kona ba assunto ida ne’e hamosu tiha ona tragédia Babilonisch Sprachverwirrung (husi Jerman: runguranga Babilônia). Iha Bíblia laran mosu lenda ida, wainhira rai boot hanesan Babilônia usa língua maibe hamosu de’it confusão iha sira nia leet. Ida ko’alia, seluk la compriende; seluk hasa’e lian, ida la hatene saida los! Nune’e, wainhira sira halo arquitectura ida atu harii “torre Babel” (símbolo nacionalismo?), maibe la compreende malu: haruka lori batako, sira ba kuru fali we, haruka lalin fatuk, sira ba tesi fali ai! Runguranga. To’o ikus mai “torre” ne’e naksobu no riba ba sira nia leten, mate dodok tiha hotu.

Barak ka oituan, discussão kona ba “língua materna” hatudu duni buat nebe mosu iha Bíblia. Tan sa? Tan, UNESCO, Embaixadora Kirsty Gusmão, Rede Feto no FONGTIL, hamutuk ho REPETE 13 no Ministério Educação hakarak hari’i “torre” iha cidade Babel (Díli?), maibe sira la compreende malu, ikus mai lês malu iha TVTL. At liu tan, iha fórum acadêmico ida hanesan iha UNTL, ita la halo discussão cientifico maibe bronkas fali hanesan iha “mercado hali-laran”. Hatudu tragédia bo’ot liu tan: ita seidauk hanoin iha nível acadêmico, maibe iha nível ativismo político de’it. Tebes, ohin loron papel acadêmico sira nian oituan liu. Ho respeito tomak, maibe Organização Sociedade Civil la’os instituto acadêmico sira! Mundo acadêmico iha ninia código de conduta rasik. Buat nebe mosu iha UNTL – tuir ha’u nia hanoin – hanesan humilhação (penghinaan) ba valor acadêmico no intelectual; hodi lori UNTL ba “decadência” no “desacralização”. Basa, nu’udar símbolo no “palácio” ate “templo” ba pensador no cientista sira, UNTL labele sai fali fatin atu tuda malu no hakilar malu.