May 1, 2011

Lelaki yang Duduk di Sudut Gereja

Oleh: Monika Nia Liman

Penantian, katamu, adalah hal sia-sia yang tak boleh dilakukan oleh seorang lelaki. Aku  adalah sia-sia, karena sekian waktu tetap berada di sini, di sudut halaman gereja yang ramai oleh anak-anak. Menanti. Keceriaan anak-anak itu mirip dengan keceriaan bintang-bintang yang selalu kita cari dulu di setiap malam bulan purnama. Pun kebahagiaan mereka sama dengan kebahagiaan yang bersinar-sinar di matamu ketika kau memimpin nyanyi-nyanyian  ekaristi.  

Aku ingat persis, kau selalu ingin menjadi dirigen, memimpin teman-teman mudamu menyanyikan magnificat, atau hymne-hymne salib. Sedang tanganmu mengalun lembut memimpin nyanyi-nyanyian itu,  engkau berpaling ke arah umat—aku yakin engkau tahu aku paling suka duduk di sudut, deretan paling belakang bangku-bangku—matamu akan menatapku lama: sesuatu yang maknanya hanya aku sendiri yang paham, lalu beberapa detik selanjutnya kau memberi seulas senyum yang maha manis. Engkau seperti seorang bidadari yang datang dari khayangan di saat-saat itu.


Kemudian aku berjalan keluar setelah ekaristi selesai, menunggumu di sudut halaman gereja. Engkau akan cepat-cepat berlari ke arahku meski masih banyak jemaat ingin menjabat tanganmu, ungkapkan  kagum. Kita berdiri berbincang. Begitu bahagia. Dan kau membiarkan orang lain memandang iri ke arah kita.

Dalam saat-saat seperti itu, Angela, mengenangmu adalah sesuatu yang sangat indah   ketika aku harus berjalan keluar masuk lorong waktu yang melelahkan. Dan aku memang selalu ingat kau, dalam bentuk apapun.

Kau pernah bercerita bahwa lukisan terkenal Mona Lisa, sebenarnya dinamakan La Gioconda oleh Leonardo da Vinci sendiri. Dan menurutmu, menurut selera kecantikkan masa kini , sang model wanita tersenyum itu sulit masuk kategori cantik, karena alisnya—sesuai selera masa itu—dicukur sampai plontos tanpa pengganti hiasan apapun.  Entah kau dapat informasi itu dari sumber mana, kau cerita bahwa berdasarkan penelitian sinar-X, diketahui bahwa lukisan itu minimal dua kali dikoreksi Leonardo. Di bawah lukisan yang tampak sekarang, terdapat dua lapis lukisan bertema sama. Kau pun kecewa karena sang maha karya seni lukis yang dipuja-puja sebagai paling akbar itu, dalam kondisi aslinya yang tergantung di dinding Musee National du Louvre-Paris, ternyata berukuran tujuh puluh tujuh kali lima puluh tiga senti meter saja.  

Engkau memang telah membuat segalanya berwarna Angela.
Kau pernah bercerita tentang Atlantis. Katamu, kota besar dan makmur yang disebut Plato dalam buku Critias dan Timaeus itu adalah kota kuno yang peradabannya tertinggi dan tertua di dunia .  Ia menghasilkan emas dan perak yang tak terhitung banyaknya. Dengan mata berbinar-binar kau cerita bahwa istananya dikelilingi dinding emas dan dipagari tembok perak. Kota itu memiliki pelabuhan dan kapal yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaanya luas melampaui Asia, Eropa bahkan sampai Afrika.

Aku tertawa mendengar ceritamu. Dan kau marah ketika kubilang kota itu hanyalah fiksi, cerita pengantar tidur pada zaman Plato. Ia hanya mitos yang dikarang Plato untuk mengilustrasikan teori politik. Kau membantah pernyataanku dan bersihkeras bahwa kota itu sungguh-sungguh ada, dan ia telah lenyap sejak sebelas ribu enamratus tahun yang lalu.

Menurut ilmu yang kau pelajari, kota itu dihukum oleh para dewa karena jijik melihat kebajikan Bangsa Atlantis yang perlahan merosot. Dewa-dewa menghukum mereka dengan mendatangkan banjir dan gempa bumi yang sangat dahsyat sehingga kota itu tenggelam dalam sehari semalam. Namun, menurut ilmu yang aku yakini—kalau benar Atlantis sunguh ada—ia tenggelam bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es Pleistocene yang juga menimbulkan bencana banjir yang sangat hebat.
            
Engkau memang membuat segalanya berubah, Angela. Aku ingat persis ketika kita berdebat panjang lebar mengenai apa arti sejarah bagi hidup, baik untuk hidup pribadi maupun kelompok. Bagiku, sejarah tidak lebih dari hitungan detik,menit, jam, hari, bulan, tahun, abad yang membosankan dan melelahkan. Tapi engkau menyangkalnya dengan berbagai alasan yang entah kau rujuk dari buku apa.
            
Katamu, sejarah mengajarkan banyak orang tentang berbagai hal. Jatuhnya Tsar Nicholas II yang memimpin Rusia berabad-abad secara tirani dan absolute, misalnya, adalah awal dari kekaisaran baru. Menurutmu, jatuhnya Tsar Nicholas II adalah sebuah revolusi yang bingung. Ketika kaisar jatuh, orang-orang Bolzevik mabuk oleh euforia kemenangan, dan mereka tidak  bisa berbuat apa-apa karena sebelumnya tidak pernah bersiap-siap untuk sebuah kemenangan, dan akan dikemanakan Negara dan rakyat yang telah mereka kuasai. Mereka berjuang untuk kebenaran, tapi tidak memiliki landasan yang kokoh untuk sebuah perubahan, untuk revolusi itu sendiri.
            
“Engkau tahu? Keroposnya landasan setelah kemenangan orang-orang Bolzevik yang tidak memiliki kecakapan untuk memimpin kemudian dimanfaatkan oleh Lenin. Mereka melakukan kudeta setelah kudeta, revolusi dalam revolusi. Perjuangan kebenaran kemudian tidak ada artinya karena Rusia kembali dikuasai orang-orang yang haus kekuasaan dan pintar mengambil kesempatan. Sejarah mengajarkan kita untuk arif dan waspada. “ demikian katamu. Kesimpulanmu, kemenangan tidak akan berarti apa-apa tanpa tahu akan dibawa ke mana kemenangan itu.
            
Ahh.. Angela.. Aku menemukan sebuah simbol dari semangat yang tidak pernah berhenti di wajahmu. Sesuatu yang membuatku terkagum-kagum. Keanggunan ragawi yang kau miliki adalah cerminan dari sesuatu yang benar dan putih yang ada dalam darah dan hatimu. Aku memang sangat kagum padamu. Aku sering memimpikan jika suatu saat kelak—waktu itu—pada suatu waktu yang akan membuat kita menjadi satu. Kita akan bercerita panjang-lebar lagi. Berdebat.  Tentang apa pun. Tetapi barangkali, hari ini, jika aku pikir-pikir kembali, bertemu denganmu lagi hanya akan menyisakan sobekan-sobekan perih.     
                                                                        ***
            
Telah kuterima sepucuk surat dalam amplop putih yang kau kirimkan padaku bulan lalu, Angela. Sembilan tahun kita berpisah, tapi kau masih mengingat laki-laki seperti diriku. Dalam surat itu kau katakan bahwa kau akan memulai hidupmu yang baru dengan seorang pria demi kesempurnaan egoisme orang tuamu. Kau harapkan aku hadir dalam upacara pernikahanmu. Lebih dari itu, kau meminta bertemu denganku sebelum hari pernikahanmu nanti. Aku tak tahu harus bagaimana menyikapi permintaanmu. Aku nelangsa. Ada sedikit hati yang teriris. Lalu,  di bawah mendung senja itu kita bertemu.
“Sembilan tahun, Angela. Kau yang makin cantik, atau aku yang sedang bertemu dengan bidadari? “
Kau tersenyum kikuk.
“Kau juga sudah jauh berubah, Kak.”
            
Lalu dalam gerimis senja kita kembali mengais puing-puing kenangan yang telah bercampur dengan polusi kehidupan.
           
“Setelah semua yang kita alami, Kak, aku berat menerima kenyataan bahwa harus menjadi isteri lelaki yang tak kucintai.” katamu dengan mata berkaca-kaca.
           
“Kita pernah punya mimpi yang sama tentang bahagia, Angela. Tentang rumah yang mungil, tentang anak-anak yang lucu. Tapi takdir menentukan lain. Seharusnya kau bahagia dengan laki-laki yang mampu memberimu segalanya” aku mencoba menenangkanmu.
“Tidak ada yang abadi dalam hidup ini, Kak. Kebahagiaanku tidak akan pernah bisa dibayar dengan timbunan harta.”

Ada yang menusuk pelan dalam dadaku ketika mandengar kalimatmu itu. Betapa kau telah belajar banyak mengenai hidup dan kehidupan. Kau memang perempuan istimewa, Angela.
“Apapun yang terjadi nanti, aku tidak ingin kau menjadi perempuan yang rapuh. Kau harus tetap seperti Angela yang dulu, penuh ceria, penuh kekuatan, dan tak kalah dalam situasi apapun.”
            
Entah apa sebabnya, ada yang mengalir dari kelopak matamu. Dan buru-buru kau seka dengan ujung jemarimu.     
            
Gerimis kini telah reda. Kau mengajakku menyusuri jalan kota. Tapi kutolak. Tidak seharusnya kita berlama-lama membiarkan diri mabuk dalam masa lalu. Aku adalah bagian dari masa lalumu, begitu juga sebaliknya. Lalu Aku mengantarmu menaiki Vario yang parkir di samping warung, dan sebelum menghidupkan pergi, kau masih sempat bilang akan selalu memberi kabar untukku. Aku terenyuh mendengar janjimu. Kau diam tak bergeming ketika  lancang kukecup keningmu. Kupandangi kau hingga lenyap di persimpangan jalan dengan rasa haru.
            
Sebenarnya masih ingin kunikmati kebersamaan itu lebih lama Angela,  sebelum semuanya benar-benar berakhir dan tidak lagi berulang selamanya. Tapi tidak bisa. Ada yang tidak bisa kita lakukan begitu saja.
                                                                        ***
            
Hari semakin sore. Matahari merangkak pelan menuju ke barat. Dan aku ada  di sini, di dalam gereja, di sudut deretan bangku paling belakang. Menunggu.
Lagu Pernikahan Kudus mulai mengalun syahdu dari panti koor, memenuhi ruang gereja, menembus dengan tajam ke dasar  hatiku. Lalu, dari pintu utama gereja, seorang bidadari bargaun putih panjang, bermahkota bunga di kepala, melangkah perlahan menuju altar. Tangannya menggenggam sebuket mawar putih. Begitu cantik dan anggun. Tapi ia tidak sendiri. Seorang lelaki sebaya berpakaian serba putih berjalan di sampingnya dengan senyum bahagia. Bidadari itu berjalan menunduk. Kemudian perlahan wajahnya diangkat lagi, dan.. Oh Tuhan! Ia berpaling ke arah sudut, deretan bangku paling belakang. Kali ini tidak dengan senyuman yang maha manis, tapi dengan wajah penuh duka. Ia menatapku lama. Mata itu, mata yang biasanya memancarkan sinar-sinar kebahagiaan, kini tampak redup dan penuh embun.
            
Lagu Pernikahan Kudus masih terus mengalun. Dan tiba-tiba saja aku ingin bangkit dan pergi.  Aku harus mencari pelarian dari rasa tertekan ini. Yahh.. aku ingin kembali ke rumah, menemui sahabat-sahabatku. Ingin kukatakan pada mereka: aku ingin ditahbiskan segera. 


Jogja, 2011
Untuk Cinta yang Patah

No comments: