Cerpen Haz Algebra
Cahaya pagi menerobos celah-celah jendela, membentuk garis-garis lurus yang bergabung menjadi lembar-lembar sinar membentang, membagi ruangan kamar menjadi dua, seperti pintu dimensi menuju alam gaib. Cahaya itu bermuara tepat di atas sebuah wajah lalu berhamburan saat mengenai pipi cembung bening. Sebagian meresap bersembunyi di balik rambut-rambut halus yang membuat seksi bagian atas bibirnya yang tipis. Sebagian lagi menyambar lonceng pagi di pelupuk matanya.
Perempuan jauh. Sandarkan mimpi di tembok pagi. Seperti sehabis semalam. Matanya meremang. Mangucak-ngucak. Lalu merentangkan tangannya dengan gemulai. Memperlihatkan lekukan setengah badan yang didominasi dada yang montok.
Tampak dari kejauhan tubuhnya terbungkus stelan Blouse warna kuning, oh.. bukan.. tapi pink, ya warna pink, sangat cerah dia pagi itu, secerah matahari. Dadanya yang montok menonjol memadati stelan Blousenya. Lalu, didekatinya diriku yang sedang duduk melongo di kursi panjang. Hanya ada sebuah kursi panjang di beranda itu. Membentang menghadap tepat di depan pintu. “Ah, kau sudah siap rupanya,” bibirnya basah.
Kalimat itu membuatku tegang sejenak. Seakan-akan kuambil kembali hangat tubuhku yang hilang diserap udara dingin pagi. Seolah kurebut mahkota matahari sebelum keangkuhannya menaklukkan bumi. Di sampingku dia duduk melipat paha. Merapikan rambutnya yang gemulai. Perlahan dia menyentuh telingaku dengan jarinya yang lembut, lalu mendekatkan bibirku di bibirnya.
Aku seperti melompat, melayang dari kursi panjang. Membuat cemburu barisan semut-semut yang sejak tadi menatap curiga di dinding beranda. Hembusan nafasnya menggetarkan cairan tubuhku. Bak gelombang tsunami menaklukkan tegap tubuhku mengikuti hausnya. Aku pun memiringkan tubuh tanpa kuasa. Dan bibirku kini bersujud di bibirnya yang basah. Aku biarkan dia melumat bibirku sambil menyedot cairanku sedikit demi sedikit.
“Hmmm… enaakk.” Dia bergumam sejenak dan penuh hasrat terus menyedot cairan dari bibirku. Aku semakin melayang dengan bobot tubuh yang semakin ringan. Seperti kehabisan tenaga, aku harus kembali mendarat di kursi panjang. Dia pun mengagumi permainan itu seperti biasanya, “Ahhhhh…. nikmat sekali.”
Kini, telah kutumpahkan seluruh cintaku pada bibirnya. Sambil kutunggu waktu hinggap dan menghapuskan jejak pelangi semalam yang tersisa di kantung matanya.
“Menari kau perempuan, menarilah pagi ini. Aku hanya bisa mencintaimu seperti ini. Menyajikan warna hitam putih untuk melengkapi pagimu. Aku ingin lebih mencintaimu, tapi siapa aku? Aku hanya secangkir kopi susu.”
Aku bergumam dalam kebisuan cangkir kosong di kursi panjang. Perempuan itu pun beranjak meninggalkan cangkir kosong di kursi panjang. Menuju pencarian sosok kenyataan untuk menemani kekosongan paginya di kursi panjang
No comments:
Post a Comment