Bilio S* Program Officer, JICA TL Office |
PERNAH terjadi, sekitar empat-belas tahun yang lalu sewaktu masih ‘terkurung’ di asrama (Seminari Dare), saya dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang amat krusial dan rumit. Pernahkah Anda mengenal Perempuan? Pertanyaan berikut, seperti apa dan siapakah mereka itu? Waktu itu, tanpa pikir-panjang, saya spontan memberi jawaban afirmatif. Ya, saya mengenal mereka! Saya lalu diminta mengurutkan jawaban saya secara sistematis yang mana langsung bersinggungan dengan pemahaman awalku yang agak dangkal tentang perempuan saat itu.
Pikiran dasar yang muncul sebagai jawabannya adalah membayangkan perempuan yang pertama kali saya jumpai dalam hidup ini, yakni dia sebagai seorang ibu. Selain itu, mereka yang tergolong dalam jenis-kelamin ini adalah nenek, saudari, tante, para suster, gadis/cewek dan mantan pacarku. Dalam benak saya, seperti itulah pemahaman awal yang amat dangkal tentang perempuan.
Tak terasa, waktu terus melaju dan perjalanan studi pun diperkaya oleh beragam analisis-filosofis dan teologis tentang figur, kiprah dan peran perempuan. Hampir semua diskusi, refleksi dan renungan-rohani diarahkan untuk menghormati dan menghargai perempuan. Alasannya, pengorbanan perempuan dalam hidup ini sungguh berat. Mulai dari kesibukannya mengelola rumah-tangga sampai pada tuntutan untuk mengambil-bagian dalam tugas-tugas di luar rumah.
Satu hal yang paling menarik adalah refleksi tentang bagaimana menempatkan kemanusiaan dan kehormatan perempuan sebagai mutiara yang patut disanjung dan dihargai. Relevansi dan orientasi refleksi-teoretis dimaksud pada intinya dijelaskan oleh dan dalam praksis hidup keseharian. Dalam kaitan itu, ada dua ketegori perempuan yang diprioritaskan. Pertama, perempuan-muda(gadis/cewek) yang dalam relasi-cinta disebut pacar/kekasih. Kedua, perempan yang memainkan peran sebagai ibu.
Untuk kategori pertama, upaya menghormati dan menghargai perempuan dimulai dengan anggapan-awal yang begitu mulia, yakni dia sebagai kekasih sekaligus saudari-kandung sendiri. Kedua anggapan ini harus dwitunggal adanya dengan dalih kasuistik bahwasanya pelbagai tindak perkosaan dan pelecehan terhadap perempuan kerap juga tak terelakkan karena keduanya sering diceraikan dalam mana kesadaran dan nurani kemanusiaan lelaki yang seharusnya normal secara etis, telah terbentur oleh naluri lain yang mewakili watak superioritas yang instingtif dan serakah.
Kategori kedua, upaya dan maksimalisasi kesadaran-sehat-etis ini berlanjut pada proses internalisasi dan konsientisasi nilai-baru untuk membayangkan sekaligus memahami peran dan status perempuan sebagai seorang ibu. Status dan peran mulia inilah yang menjadi prasyarat awal pemanusiaan dan pembentukan pribadi seseorang. Mudah dikatakan bahwa sejarah kelelakian lelaki pun berawal dari genggaman dan asuhan sang bunda tercinta. Dasar pemikiran ini niscaya mewajibkan lelaki untuk menghormati dan menghargai perempuan.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya muncul konsepsi pembebasan gaya-baru. Perempuan harus beremansipasi dan dibebaskan dari jeruji kekuasaan lelaki. Perempuan harus bekerja dan meniti karier di luar rumah. Konsep emansipasi yang berlatar liberal-westernistis ini dikemas lewat beragam cara perjuangan seperti gender-equality, contra-violence against women, sexism, dan semacamnya. Tujuannya adalah untuk memperbaiki citra dan harga-diri perempuan yang selama bertahun-tahun terus dilecehkan oleh struktur, sistem dan kekuasaan kaum patriarki.
Memang, perjuangan macam ini sudah cukup mendunia. Di Timor Leste sendiri misalnya, konsep direito de igualidade versi Fokupers ditampakkan lewat tuntutan the rights of partaking in public and political spheres. Nampak jelas bahwa perjuangan kesetaraan itu punya corong pemekaran baru menuju peran dan kiprah perempuan di luar rumah di mana domain publik bukan dominasi lelaki semata.
Cuma satu hal ini yang cukup mengejutkan saya. Saat sedang mengamati gejala demikian, saya tersentak ketika seorang teman-diskusi melontarkan beberapa soal-gender yang agak menantang dan menggelitik. Pertama, “Bagaimana mungkin pembangunan di Timor-Leste akan berhasil kalau perempuan beremansipasi?” Kedua, “Kalau perempuan sudah meniti karier di luar rumah, bagaimana dengan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai seorang ibu yang setia melayani suami dan mengurus anak-anaknya?” Ketiga, “Misalnya, seorang perempuan menjadi pejabat, masih maukah dia membuat kopi untuk suaminya?” Keempat, “Sudah mampukah sang suami membedakan rasa-kopi mana yang paling nikmat baginya? Kopi yang disuguhkan oleh pembantu ataukah kopi dari sang istri tercinta?”
Feto Timor |
Cuma menariknya, tidak sedikit perempuan yang hanya memberi prioritas pada sektor domestik atau publik saja agar beban kerjanya menjadi ringan. Bahkan paling menarik lagi, ada juga segelintir yang berkonsentrasi saja pada peran publik sementara sebagian besar tugas rumah tangga diserahkan pada pembantu, nenek atau mertua. Sisi paling menarik inilah yang rupanya cukup dilematis terutama menyangkut proses pengasuhan, pendidikan, perawatan serta pemeliharaan anak-anak.
Kalaulah akhirnya tetap muncul gugatan bahkan optimisme bahwa peran domestik bisa dibagi secara merata, arif dan bijaksana bersama suami, mertua atau babu, niscaya menyisakan persoalan mungkinkah ini efektif? Untuk memperkuat tesis ini, bisa digali sedikit pengalaman dari negara perintis emansipasi. Amerika tak bisa disangkal adalah negara liberal pencetus Women’s Liberation yang de facto hingga hari ini pun pembebasan paripurna perempuan belumlah ideal seperti yang diharapkan kalangan feminis.
Mungkin lantaran itu, negarawan Perancis, Tocqueville dalam bukunya Democracy in America justru memuji negeri Paman Sam itu karena menempatkan perempuan sebagai ibu yang menjadikan rumahnya tempat berlabuh bagi seluruh anggota keluarganya. Menurutnya, ini adalah faktor utama yang menjadikan Amerika sebagai negara makmur dan mempunyai pengaruh besar di seluruh dunia hingga detik ini.
Mengikuti garis pemikiran demikian, terasa sungguh naif manakala muncul anggapan bahwa tugas dan tanggung jawab mengelola rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak produktif dan cenderung ditempatkan pada posisi yang lemah. Bukankah peran perempuan dalam membina calon-calon 'pria dewasa' pernah mengalami sukses yang tak terbilang jumlahnya? Terutama sukses dalam membentuk pribadi paripurna yang mandiri, terampil, dan berkepribadian. Dan ini mustahil diserahkan seluruhnya kepada suami, pembantu atau bahkan sekolah sekalipun.
Bila direnungkan sejenak, pola pendidikan yang dilakukan oleh seorang ibu memang sungguh unik. Nampak begitu berbeda dengan cara yang dilakukan entah itu pembantu, mertua, ataupun guru di masa-masa pertumbuhan anak. Terdapat unsur emosi yang inheren di diri sang ibu yang bisa saja memudar bahkan lenyap manakala anak diasuh oleh orang lain. Dalam kenyataan, apabila anak lebih banyak bergaul dengan gurunya atau pembantunya, merekalah yang akan dijadikan figur oleh sang anak dalam berpikir dan mengambil sikap dalam seluruh perjalanan hidupnya.
Pada titik ini konklusi tentatif bisa ditarik. Seandainya perempuan melepaskan tugas dan tanggung jawab keibuannya, maka wajar-wajar saja apabila anak kehilangan figur yang diharapkan. Lebih parah lagi, kalau ketaatan anak pada orang tua diragukan, plus terganggunya pola komunikasi anak dan ibu. Kalaulah ini yang terjadi, bukankah kita sedang berada di ambang kehancuran rumah tangga? Bagaimana dengan sikap dan perilaku moral anak seandainya sang ibu terus menghabiskan waktunya di luar rumah?
Gejala umum yang nampak, sang anak rupanya lebih dekat dengan ibu ketimbang ayah lantaran adanya kedekatan fisiologis maupun psikologis antara ibu dan anak yang dengannya cukup banyak nilai etis, kebajikan serta keutamaan moral lainnya yang diperoleh anak berkat bimbingan, asuhan dan pendampingan dari orang tua, khususnya sang ibu. Seandainya pilihan peran macam ini diprioritaskan, tentu bisa diharapkan muculnya generasi-baru yang melihat dan menilai tindak-pemerkosaan sebagai perbuatan biadab dan durhaka terhadap sejarah kemanusiaan lelaki yang memang sungguh bermula dari pemeliharaan(dalam rahim) dan pengasuhan sang bunda tercinta. Juga, tindakan brutal dan anarkis lainnya akan masuk dalam kategori ini.
Jadi, bila gagasan-alternatif ini diterima sebagai logis dan realistis, maka pertanyaan “bagaimana mungkin pembangunan di Timor-Leste bisa berhasil kalau perempuan beremansipasi?”, bisa nampak titik-terangnya. Pembangunan bisa sukses kalau ditunjang juga oleh adanya manusia-manusia yang sadar akan eksistensinya, dapat menghargai orang lain dan mampu bertindak melawan naluri kebinatangan yang biadab dan tak terpuji. Dengan kata lain, pribadi-pribadi yang bermutu dan berbobot secara moral, kultural dan intelektual sungguh ditentukan oleh efektivitas tanggung jawab dan peran mulia yang harus dimainkan oleh perempuan yang disebut ibu, bunda, mama, dan semacamnya.
Benang merahnya adalah perempuan kalau sudah memainkan peran sebagai ibu alias telah punya anak, dia tidak cukup hanya menjadi ibu biologis saja, tapi sosiologis dan psikologis juga. Tidak tanggung-tanggung, sang suami pun akan bangga kalau manajemen intern keluarga termasuk mengurus anak-anak dan melayani suami(plus tetap menyuguhkan kopi-segar untuk suami) adalah kewajiban isteri. Tidak sedikit suami yang begitu mencintai isterinya karena kewajiban dan tugas keibuan isteri begitu mempesona baginya. Apalagi anaknya pun pintar, cerdas, taat asas dan patuh pada orang tua. Mungkin hanya suami gila, brutal dan emosional saja yang tidak menghargai hasil pengasuhan sang isteri(ibu) seperti ini.
Singkatnya, tugas dan kewajiban perempuan sebagai ibu adalah tetap menganggap rumah tangga dan keluarga sebagai ‘property’ miliknya sendiri. Mungkin perempuan Lorosae adalah sosok yang commit dan menyatu dengan peran mulia macam itu. Maka tidaklah mengherankan kalau pihak Fokupers pun mengaku kalau urusan dapur(katakanlah tugas rumah tangga secara keseluruhan), perempuan justru lebih tepat. Semua ini pada intinya hendak mengafirmasi solusi ideal sekitar peran mulia perempuan sebagai ibu dalam membentuk, mengasuh dan mendidik putra-putri Lorosae yang tangguh dan berbobot lewat imperatif hakiki bahwasanya perempuan tidak harus meninggalkan rumah. Jadinya, mengembalikan perempuan ke rumah sama dengan menghargai peran, tanggung jawab dan kewajibannya sebagai ibu yang proporsional, berbobot, bijaksana dan paripurna.***
**)Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Suara Timor Lorosae (STL), Edisi 29 Juni 2002.
No comments:
Post a Comment