Ermalindo Albinus J. Sonbay Alumni Seminari St. Marry Immaculate Lalian Wartawan Suara Pembaruan |
Suatu bayangan terbersit membangunkan residu masa silam untuk saling mengait lagi, terbentuk menjadi mozaik, ketika saya dan “la poderas”-ku membelah ujung paling Barat pulau Jawa. Bayangan yang juga berarti kenangan yang sempat terkelupas jatuh ke dunia penuh samsara ini. Bayangan akan keindahan yang terburai keluar belasan tahun silam di bumi persemaian nan indah, Seminari Santa Maria Immaculata Lalian. Yah, kami sering menyebutnya SEMLA dan kebetulan kami berada di kelas tertinggi saat lembaga pembentuk para calon imam dan misionaris ini merayakan yubileum emasnya.
Agak aneh. Remaja yang berada di usia akil balik harus hidup seatap penuh nuansa homogen. Cowok semua, aturan yang ketat untuk semua, sanksi yang sama tegasnya untuk semua pelanggar disiplin, keberakaran yang kuat dalam korps yang satu, bahkan yang paling mulia, persaudaraan yang tak kenal siapa dan dari mana, untuk apa dan mau bagaimana? Semua adalah saudara yang terjaring dalam panggilan apostolic, yang kemudian akan terjaring dalam pilihan dan keputusan, ayakan ilahi yang juga berarti peruntukan dan nasib. Adagium Latin bilang, “Multi Vocati Sed Pauci Selecti Sunt” yang sekilas berarti begitu banyak yang dipanggil, sedikit sekali yang terpilih.
Masih ingat, angkatan kami kala itu 140-an orang, berasal dari berbagai daerah hampir di seluruh Timor, namun yang bisa bertahan hingga saat terakhir meninggalkan Lalian hanya 39 orang. Tidak sampai setengah pun sepertiga. Tapi tak apa, bagi semua yang pernah menginjakkan kakinya di Lalian bahkan hanya sehari, mereka tahu bahwa YANG BAIK dan YANG BENAR telah diberikan Tuhan sejak keterlemparan mereka ke dunia ini. Proses MENJADI inilah yang lebih penting ketimbang mabuk kemanisan yang jadi madu dan gula dunia ini, hanya di ujung akhir.
Ada sedikit kreativitas dalam memaknai hegemoni dan euforia menjadi orang muda. Di kelas III, jumlah kami terbilang sedikit. Sepuluh orang. Robertus Tupen, Johanes Frengky Nggesu, Fidelis Paskalis Klau, Nelsensius Klau Fauk, Oktovianus Klau, Jasintus Eko, Ermalindus Albinus Sonbay, Felix Yosef Riwu, Nikodemus Neno, dan Petrus Neno Kabosu. Dalam sebuah dinamika, Niko dan Petrus tidak bersama kami hingga akhir, namun mereka telah menjadi bagian yang tak tergantikan dari korps kami. Di kelas kecil ini kami mengukir sedikit kenangan akan tapak awal menuju apa yang disebut banyak orang sebagai masa depan. Tentunya kami pun senantiasa berbagi dengan 29 orang teman kami yang mengisi dua kelas lain. Sehingga angkatan kami tetap solid dan kuat hingga sekarang.
Oiya, ceritanya sudah beredar melingkar dan bahkan jauh dari judul. Di samping kenakalan kami yang sering disebut kenakalan religius kala itu, kami memiliki sedikit tren kala itu yang kemudian berkembang dan menjadi teman perjalanan kami selama beberapa waktu (bahkan sampai sekarang). Kisah dibalik ‘pembabtisan identitas’ kami yang lain. Felix Riwu yang kala itu sempat menjadi ketua OSIS sering dipanggil LAKSAUR. Ceritanya kala itu konflik antar-saudara di Timor Loro Sa’e sempat menghangat dan beberapa kelompok militer-sipil (Milisi) menjadi terkenal kala itu, ada AITARAK, BESI MERAH-PUTIH, GADA PAKSI, dan LAKSAUR. Yang terakhir entah mengapa menjadi pilihan teman-teman untuk membabtis panggilan Felix. Saat ini Felix tengah menjadi dosen di Timor Leste. Akhirnya pak dosen ini mewujudkan impiannya menjadi milisi intelektual di Negara Muda (kami) ini.
Jasintus Eko. Si kidal pemilik pukulan menukik di lapangan volley kala itu senang membuat huruf indah di buku-buku pelajarannya dengan tulisan JECKO dan bukan JACKO. Mungkin karena ia tidak bisa menari ala legenda POP USA yang sudah meninggal itu. Tegas dan disiplin mewarnai kerja anak ini setiap hari. Mungkin struktur anatomi tubuhnya membuat ia kuat untuk menjadi tegas. Sekarang ketegasannya dihamburkan utuh di kota Dilli, tempat ia bertugas.
Ada juga Robertus Tupen yang senang disapa I-ONE. Kala itu belum ada TV-ONE jadi yang pasti dia tidak terobsesi dengan televisi milik konglomerat itu. Ia senang dipanggil (karena membabtis dirinya) demikian, mungkin karena pengaruh kuat dari IWAN FALS pemilik mutlak OEMAR BAKRIE. Setiap saat dengan suaranya yang mirip-mirip saya, ia selalu meneruskan kritikan penyanyi CONDET ini di kelas kami. Semua kaset (waktu itu hanya ada kaset di Timor) milik Iwan Fals dari album perdana hingga terakhirnya selalu ada di meja belajar I-ONE SoE ini. Pria kota dingin di ketinggian Timor ini saat ini memilih menjadi wirausaha di kota kelahirannya SoE setelah malang-melintang dengan sekian banyak pengalaman di wilayah Jawa Timur.
Waktu di Seminari ada seorang saudara saya yang berpostur sangat kecil. Tapi sekarang mungkin dia yang memiliki perawakan paling besar. Oiya, dia yang masih menjadi wakil kami di jalan yang pernah kami pilih. Johanes Frengki Nggesu. Bisa main musik, senang berolah raga, cekatan dan untuk saya dia manusia multi-talenta. Segala sesuatu bisa dibuatnya dengan baik. Yang tidak bisa dibuatnya mungkin hanyalah TIDAK BISA. Pria yang akan berkarya di Philipina ini memilih sebuah nama yang bagus. Hmm, nama yang bisa direfleksikan. KING.
Yah, itu kisah tentang KING dkk. yang bisa melakukan apa saja yang terbaik. Manusia-manusia penuh idealisme. Manusia-manusia yang mengisi kenangan saya. KING akhirnya menyadarkan kami bahwa menjadi RAJA tidaklah membutuhkan fisik dan kekuasaan yang besar, menjadi pemimpin tidak memerlukan kekuatan fisik belaka. Menjadi KING adalah bersedia menjadi yang terkecil, yang terakhir, yang bahkan tidak diperhitungkan. Bukan dengan korupsi dan manipulasi, bukan dengan mengalihkan soal yang bagai peluru menerjang menuju diri, bukan dengan men-skenario-kan sebuah dagelan bagi rakyat dan negerinya. My name is KING, but I am still a little one.
Lalu saya. Ah, saya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa, saya MENSON yang terus mau bertualang. Bersahabat dengan kota-kota, kampung dan desa di Nusantara yang “kaya” ini. Sekalipun hanya ditemani la poderasa saya. I am still a poor adventurer.
Selat Sunda, Pada Suatu Waktu di Bulan Pertama 2011
Ketika Mengenangmu semua
No comments:
Post a Comment