Dec 21, 2011

KARTAPEL

Oleh:  Ermalindo Albinus Joseph Sobany

Ada yang menyebutnya ketapel, katapel, kartupel, kartapel, yah apapun sebutannya, saya pikir mungkin Kamus Umum Bahasa Indonesia juga bisa salah dalam menentukan mana format baku dari kata ini, jika ia harus diambil dari bahasa sehari-hari. Dan mungkin di depan alat (bisa baca senjata) ini, orang tidak akan mementingkan seberapa baku dan umum dan benar dan sesuai kaidah. Alat ini sudah cukup membahasakan bahwa hampir sebagian besar anak lelaki Indonesia yang baru beranjak ke usia belasan tahun sebelum dekade 1990, atau 1990 ke bawah pasti pernah dekat dengan benda ini.

Segitiga bermuda, Golden triangle, segitiga emas, atau apapun istilahnya untuk tempat di antara tiga sudut yang katanya indah di dekat Hawai, pasifik sana mungkin hanya merupakan mimpi untuk saya dan sebagian besar orang. Namun, membayangkan kartapel yang dilingkar di kepala anak-anak Timor atau yang diselipkan di kantung celana, adalah hal yang sangat membekas dan tidak mungkin bisa saya lupakan. Yah, senjata dengan kekuatan kinetis yang bekerja akibat adanya kelenturan dari alat pegas ini merupakan salah satu senjata jarak dekat yang dibawa para penggembala sapi di Timor, atau mereka yang bertugas mengawal ladang dan sawah dari serangan burung pipit yang terkadang kelewatan nakal. Jika banyak orang membanggakan Segitiga bermuda yang besar itu, saya masih setia dengan kenangan saya akan kartapel, dari rangka jambu muda yang dilenturkan dekat tungku api, dikeringkan dan diberi lapisan karet gelang, plus sepotong kulit sebagai tempat diam batu, plastik, atau buah-buahan pohon atau benda seukuran kelereng apa saja yang nantinya menjadi peluru.

Yah kartapel dekat juga dengan istilah “fiti”. Sorry yang terakhir ini bukan nama orang atau nama tempat di Timor. Ini adalah istilah yang sering dipakai ketika seseorang menggunakan kartapel, dengan kata lain lain, “fiti” adalah kata kerja yang berarti aktivitas menggunakan kartapel. Fiti burung misalnya, membuat satu tembakan ke arah burung dengan kartapel. Fiti burung juga bisa berarti aktivitas total memburu burung dengan kartapel, sejak keluar rumah hingga pulang kembali ke rumah, dengan atau tidak dengan hasil buruan. Begitu banyak spesies burung di Timor yang masuk dalam keterpenjaraan akibat garis Weber dan Wallace dalam zoning wilayah fauna dan flora di Indonesia menjadikan “fiti burung” sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan di Timor, serentak sebagai bagian dari pembuktian status dan posisi seorang anak lelaki yang baru beranjak dewasa. 

Warga Timor bukan tidak mencintai lingkungan, kesadaran dan tingkat pengetahuan pun mungkin penganak-tirian yang diterima selama sekian tahun dari negara ini membuat koleksi spesies burung sebagai salah satu aset laboratorium alam diabaikan begitu saja, jangankan burung, kerbau liar, rusa, babi hutan, monyet dan beberapa penghuni hutan lainnya senantiasa menjadi incaran warga pulau Timor selain Cendana sebagai salah satu komoditas ekspor sejak jaman dulu. Aturan yang dipaksakan dan dicekoki ke dalam pemikiran yang tidak mau “diluaskan” oleh diktator-diktator Indonesia sejak merdeka hingga kini, membuat warga Timor tidak pantas disalahkan total dalam hal ini. Seperti pembuat perundangan yang tak (pernah) melibatkan masyarakat, pelanggaran melulu bukan karena tidak mau tahu aturan, melainkan karena tidak ada komunikasi dan sosialisasi yang beradab, yang manusiawi dan yang sesuai dengan identitas kultural dan karakteristik warga Timor.





Ok, kita kembali ke kartapel. Sama seperti kebanyakan entitas filosofis lainnya, kartapel bisa ditinjau dari berbagai perspektif. Di atas goncangan gelombang yang menjadi buaian nikmat di malam ini, saya coba membedahnya bersama beberapa batang gudang garam international yang masih tersisa dalam pelayaran ini. Berikut beberapa titik telaah mengenai kartapel.

Dari disiplin matematika/fisika, tentunya kartapel harus diteliti dari kekuatan energi kinetik manusia yang bisa melahirkan gerak maju batu, dari titik awal, dalam kecepatan tertentu, percepatan, hingga di kecepatan puncak, kemudian mungkin perlambatan, dan juga seberapa kuat hantaman yang bisa langsung mematikan. Atau perhitungan mengenai ketepatan sudut segitiga sama kaki yang cenderung memiliki tinggi dua atau tiga kali lipat dari sisi alas. Oiya, kartapel memiliki keunikan lain, ruas-ruas sisinya merupakan kebalikan dari sebuah segitiga. Penghitungannya menggunakan jalur inverse.

Masih berhubungan dengan hal di atas, ilmu Biologi dan Kimia mungkin bisa meneliti sejauh mana hantaman batu yang dilesakkan dari sebuah kartapel bisa menghancurkan fungsi-fungsi vital seekor burung dan membuatnya mati. Pun mungkin kekuatan ranting pohon jambu dan beberapa jenis pohon lainnya yang biasa dipakai sebagai kerangka kartapel, enzim pertumbuhan apa yang bisa membuat pohon jambu yang sering dipilih, dan mengapa proses pemanasan dengan api bisa membuat sedikit lentur batang jambu muda untuk kemudian diproses menjadi rangka kartapel, yang sering disebut “cabang.”

Dari segi disiplin humaniora semisal psikologi dan sosiologi. Para psikolog mungkin bisa mengukur sejauh mana EQ seorang anak lelaki usia belasan tahun pun mungkin sejak delapan atau sembilanan tahun yang tangkas dalam menggunakan senjata yang tidak pernah dilarang dalam pasal-pasal KUHAP ini bisa berkembang dan maksimal. Atau bagaimana dengan anak-anak yang tidak mahir menggunakan kartapel dan berada di komunitas pecinta kartapel.

Dari segi sosiologi dan budaya, efek komunal yang ditimbulkan di kalangan anak-anak Timor yang begitu kuat dimunculkan oleh senjata ini seperti apa? Mengapa anak-anak Pulau Timor dari Timur ke Barat atau dari Utara ke Selatan yang tidak mengenal satu sama lain bisa bersatu sebagai pemakai dan penikmat kartapel. Dan bagaimana kartapel bisa tergusur oleh kehadiran gadget-gadget modern semisal ratusan varian internet dan sebagainya. Di jaman kartapel menguasai pola hidup dan keseharian para gembala kecil dan joki-joki kecil yang bertelanjang kaki tidak pernah ada aksi persetubuhan anak-anak bawah umur, namun sejak warnet marak di kota kelahiran saya, sempat terdengar beberapa kejadian tak senonoh yang tentunya melibatkan dengan sangat langsung anak-anak di bawah umur. 

Dari segi agama dan kepercayaan, kebetulan sejarah kelahiran dan perkembangan agama-agama mulai dari purba hingga modern banyak yang menyenggol unsur trinitaris. Lihat saja Tiga Dewa Agung sembahan saudara-saudara Hindu, Brahma, Shiva dan Vishnu, atau aliran kepercayaan Kristen (Katolik) dengan ajaran Tritunggalnya. Kartapel memiliki keterjalinan tiga batang yang senantiasa terhubung satu sama lain, yang tidak akan berfungsi baik jika salah satunya hilang, rusak, patah atau mengalami disfungsi. Begitu juga dengan spiritualitas komunikasi antara pemerintah, penerus budaya dan tokoh-tokoh agama sebagaimana analogi tiga batu tungku, bagaimana kartapel bisa masuk dan membantu mencerahkan masyrakat agamis dari sisi ini. Pernah ada cerita biblis yang mengisahkan bahwa Goliath sang raksasa dikalahkan Daud/David hanya dengan kartapel. 

Nah masih berhubungan dengan hal di atas, apakah selama ini sudah ada penelusuran lebih jauh tentang sejarah kartapel dalam historisitas manusia, khususnya siapa yang pertama kali menciptakan atau mungkin membawa masuk kartapel ke Timor? Kartapel bisa menjadi dasar penelusuran sejarah, perkembangan seni perang dan pertahanan, atau juga wahana pembelajaran mengenai petarung-petarung (tentunya dalam level yang bisa dimengerti) Timor yang merimba di setiap saat hidupnya.

Dari sisi kesehatan, tentunya struktur anatomi tubuh manusia khususnya tulang, otot dan sel saraf bisa diteliti jika kartapel digunakan baik secara benar maupun secara keliru. Atau dari sudut pandang olah raga, bagaimana kartapel bisa membantu menguatkan otot bisep dan trisep, akurasi pandangan mata, kecakapan tangan dan posisi kuda-kuda pemegang kartapel saat berdiri.

Pun berbagai keunikan lainnya yang bisa ditelusuri jika ada kehendak kuat untuk membuat riset-riset kecil, murah namun bisa membahasan yang luas tentang masyarakat Timor secara holistis. Mungkin bisa ada film, novel, cerpen, puisi atau roman tentang kartapel.

Di negeri antah-barantah ini, saya mengingat bagaimana nafas-nafas bisa ditangguhkan sejenak, aliran darah dipaksa berhenti sejenak, dan semua itu baru dijalankan lagi secara normal ketika batu-batu seukuran kelereng terlepas dari kulit penjepit dan melesak menuju sasaran. Yah, kenangan itu sungguh hidup. Sesuatu harus disiapkan dan dilepaskan menuju titik-titik baru. Tidak penting membahas perdebatan abadi Herakleitos ataupun parmenides mengenai Pantha Rei dan sebagainya, tentang yang tinggal tetap, yang berubah dan berpindah tempat, yang mengalir atau yang diam. Saat mengenang petualangan-petualangan kecil kami, di hutan-hutan kecil kami yang sekarang sudah jadi perumahan yang sudah jadi bangunan-bangunan modern, saat itu juga ada rasa yang kuat ingin segera kembali ke sana, kembali memanggul senapan-senapan angin milik kami, dengan kartapel melingkar di leher-leher kecil kami, sekadar berbisik lembut pada dunia, “Kami belum mau pergi dari semua ini.”


Dek II, PTCC
Suatu Pagi jelang 21 Desember 2011

No comments: