May 18, 2011

Menjelajahi Atambua dan Sekitarnya

Jembatan Perbatasan
Timor Leste - Indonesia
Atambua di Timor Barat adalah kota kedua bagiku setelah Dili di Timor Leste. Enam tahun menetap di kota ini menggoreskan sejuta kisah yang turut membentuk kepribadianku. Selalu ada hasrat untuk mengunjungi kota ini setiap ada waktu. Tentu, selalu senang mengunjungi tempat-tempat dulu sembari bernostalgia. Rasanya ingin menetap lagi di kota ini lebih lama, tetapi tidak tahu harus berbuat apa di kota ini? 



jalan masuk TOR Lo'o Damian
Sejujurnya, tidak ada yang menarik di kota Atambua, ibu kota kabupaten Belu, propinsi Nusa Tenggara Timur ini. Dari segi tata kota, nampak biasa-biasa saja, bahkan terkesan tidak teratur, masih banyak pula jalan-jalan yang berlubang, sampah tercecer di sana sini. Tetapi belakangan pemerintah daerah mulai fokus untuk meningkatkan pambangunan berkaitan dengan wacana meningkatkan status dari kota kabupaten menjadi kota madya, karena berbatasan langsung dengan negara baru, Timor Leste. Hanya saja belum ada perubahan signifikan. Kehidupan masyarakatnya dari Tasi Feto di Utara hingga tasi Mane di Selatan pun tidak ada beda jauh dengan masyarakat di sepanjang perbatasan Timor Leste, Mota Ain hingga Mota Masin. Tetapi kehidupan di kota sedikit jauh lebih baik dari mereka yang ada di Maliana dan Suai. Juga, dari segi system pendidikan, Atambua sedikit lebih baik dari Timor Leste bagian Barat, baik dari segi bagunan pun kwalitas dan kedisiplinan, tentu saja juga kemakmuran para pendidiknya berbeda. 

Pohon Mahoni
di pinggiran lapangan bola Lalian
Tiba di Atambua, selain menyantap ikan bakar kesukaan di warung Solo Baru, juga Rendang kesayangan di sebuah warung sekitar kilo dua, tentu tidak terlupakan jagung bakar di pinggiran lapangan umum kota Atambua, yang juga di kenal dengan nama Pasar Senggol. Ternyata, harga makanan di warung-warung Atambua sudah tidak beda jauh dengan restaurant-restaurant yang ada di Dili, mungkin yang termahal di Atambua adalah restaurant Bambu Kuning, dan ini bisas sejajar dengan restaurant 88 di Audian atau Saigon di Metiaut, Bambu Kuning yang ada di Licidere, Dili masih jauh lebih terjangkau, hanya saja menunya sangat terbatas. Aah cerita makanan melulu,... yang lain dong,...

sekitar STM Nenuk
Motor, mejadi transportasi pilihanku untuk berkeliling kota Atambua, tentu dengan mudah mendapatkan sebuah motor dari ojek, dengan harga berkisar antara 30 ribu hingga 50 ribu rupiah per hari, tergantung kondisi motor dan hasil negosiasi. Dengan motor dari jantung kota Atambua di simpang lima, menuju Haliwen di bagian Timur, menjumpai para eks pengungsi Timor Timur yang masih setia menempati wilayah ini. Mereka telah menjadi warga negara Indonesia, walau sulit untuk mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Timor Leste, warga negara boleh berbeda tetapi adat isti adat dan budaya khas Timor masih mengikat hati dan karakter dasar yang tidak bisa dipisahkan. Arrgggg, lupakan masalah ini,.... malas ungkit-ungkit terus. 

Lapangan upacara STM Nenuk
Kembali ke kota Atambua, tentu tidak nyaman mengendarai sepeda motor. Selain karena Atambua merupakan kota dengan motor terbanyak ke-tiga di Indonesia, juga karena dipanggil oleh cewe-cewe cantik dengan kata "ojek, ojek ko nyong", kirain aku ojek apa? Ya, selain angkutan umum mikrolet, ojek motor adalah salah satu angkutan umum yang paling laris di Atambua. Ada banyak kecelakaan ojek terjadi baik dengan atau tanpa penumpang di kota ini. Ada cerita ojek membawa lari anak gadis orang, ada pula cerita orang membunuh ojek, lain lagi ibu-ibu jatuh dari ojek tanpa si pengendarai menyadarinya, ada-ada saja deh. aah ojek melulu...

Halaman depan STM Nenuk
Rasanya belum lengkap kalau tidak mengunjungi Nenuk-Lalian, di tempat inilah aku menghabiskan sebagian masa remajaku. Saya mencoba untuk mengenang kembali setiap peristiwa sepanjang enam tahun di tempat ini. Semua masih segar dalam ingatan akan kenangan hari demi hari yang terukir di sini, Di lapangan yang masih sama hijau dengan pepohonan yang rindang di pinggir jalan dan gedung tua almamater Lalian dan Novisiat Nenuk, terasa aku kembali ke rumah. Ingin rasanya mejumpai semua teman-temanku, tetapi ternyata semua telah berubah, tidak ada lagi wajah-wajah yang dulu, kalau toh ada beberapa tetapi posisinya sudah berbeda. Hanya saja ak masih betah berlama-lama di tempat ini, hanya saja saya sudah jauh dari ibadat pagi hinga ibadat penutup di malam hari, sepertinya tidak puya waktu lagi untuk duduk bersila merenung dan berdoa berjam-jam, hehe.

jalan masuk STM Nenuk
Halilulik, adalah satu tempat menarik lainnya di Atambua. Ada sebuah sekolah menengah pertama yang namanya harum sejagad Timor, dan tentu juga susteran SSPS dan Klinik swasta yang dikelola suster-suster Holy Spirit ini, juga dengan kemegahan gereja parokinya. Semuanya menarik, tenta saja menyimpan banyak kenangan masa laluku. Ada persahabatan yang mendalam di tempat ini bersama suster-suster, ada pula pelayanan yang serba spesial di Klinik Halilulik. 


dua filsuf muda
sedang berdebat tentang ikan Lele
 Lurasik, adalah tempat menarik lainnya, sebuah kota kecil di pinggiran, berbatasan langsung dengan wilayah Kefamenanu. Keuntungan orang perbatasan  ini adalah, orang Lurasik pandai berbahasa Tetum Terik sekaligus berbahasa Dawan. Di sebuha sekolah menengah umum di tempat ini, ada beberapa temanku yang menjadi pendidik dan pengajar, dua di antaranya adalah teman seangkatan. Senang rasanya bisa mengunjungi tempat ini sekaligus menjumpai teman-temanku, bersama-sama kami menju gereja paroki, salah satu teman adalah Sekjen di paroki itu. Mereka adalah filsuf-filsuf muda jebolan Ledalero di Flores dan Kupang di Timor Barat. Berbagai kisah cerita kami rangkai tuk mengenang kembali masa-masa remaja kami, tentu dibumbui dengan humor yang penuh akrab. 
Kolam ikan Lele di dekat pastoran
Kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk membagi kisah, sambil melihat dari dekat perkembangan bangunan gereja paroki, pastoran dan berhenti di kolam ikan lele di samping pastoran. Awalnya ada 500 ekor ikan lele, besar-besar lagi, belakangan tinggal sekitar 300-an karena yang lain hilang tanpa bekas. Aku membayangkan betapa menggiurkan kalo menu makan siang adalah lalapan ikan lele ini, sesuatu yang tidak akan disetujui pastor paroki hehe. 

Gereja Paroki Lurasik
nampak di belakang
Dari Lurasik kembali ke Atambua, sedikit lelah, tetapi senang tentunya. Selanjutnya terus menjelajahi kota Atambua, mulai dari Kuneru yang dihuni sebagian orang Quemaq, masuk ke daerah Tenu Kiik dan Tenu Boot yang juga banyak dihuni oleh orang eks Timor Leste, tidak lupa singgah di Tulamalae, sepertinya banyak 'malae' tinggal di sini hehe, tidak, tidak ada malae (bule) di sini. Aah harus sampai ke wilayah yang sedikit keras di Fatubenao, ceritanya semua yang buat onar di Atambua berasal dari daerah ini, tidak juga kali. Eh... masih sempat sempatnya mengunjungi Sosokoe, sebuah wilayah yang sedikit dicap kurang bagus karena kehidupan malam, tetapi sepertinya biasa-biasa saja. Tidak ada yang malorek di tempat ini. 

Jalan Raya Hutan Jati
Akhirnya harus mengakhiri jalan-jalan di Atambua, setelah mengunjungi Tini, pasar lama, pasar Baru dan kilo dua, selanjutnya meninggalkan kota ini menuju Kupang, melewati jalan raya hutan jati yang penuh kenangan. Bersambung....



Atambua, March 2011




1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.