Oleh: Martinho G. da Silva Gusmão*
Sesungguhnya pemanasan suhu politik seputar UNTAS tidak terlalu menarik untuk dibahas. Alasannya sangat sederhana, UNTAS sudah kedaluwarsa dan tidak lebih dari sebuah “issue”. Apalagi, orang-orang dari “(ex)-propinsi Timor Timur” tidak lagi memiliki “issue” politik yang hangat dalam konstelasi nasional Indonesia.
Meski secara politik UNTAS tidak menarik lagi, namun apakah kehidupan Timor oan di Indonesia tersebut harus terlupakan? Pertanyaan ini menukik langsung ke primordial sentiment yang telah menjadi hereditas sejarah kita dan bahkan nasib yang harus ditanggung tidak hanya oleh UNTAS, tetapi juga kita semua. Istilah “primordial sentiment” sebenarnya mau mengatakan bahwa meski secara politik kita berbeda, tetapi secara budaya kita bersaudara. Pernah di Naibonat (2008), saya mendengar seorang Timor oan yang berkata “Amo, Uma Fukun politik imi nian ona maibe Uma Lulik no Uma Kreda ita nian hotu, ami labele haluha imi, no imi mos labele haluha ami!” Ungkapan penuh keharuan ini langsung membawa kita kepada tragedi Yerusalem ketika di tanah pengungsian (desterra), orang-orang berkata, “Se de ti Jerusalem, eu me esquecer, seja ressequida a minha dextra. Pegue-se a minha lingua ao paladar, se me não lembrar de ti; se não colocar Jerusalem acima de todas as minhas alegria” (Sal 137, 5–6).
Artikel ini hendaknya dibaca tidak hanya sebagai sebuah analisis politik, melainkan juga sebuah metafisika politik – yaitu menukik ke dalam data dan menembus fakta.
Issue UNTAS dalam “Nation Building”
Sebagai sebuah “issue”, aksi mahasiswa UNTL sebenarnya memiliki sifat “setengah-setengah”. Pertama (1), issue bersifat setengah benar karena tidak selalu bisa dicari siapa yang melakukan “truth claim”. Makanya, sekelompok mahasiswa di UNTL melancarkan protes tetapi tidak harus semua mahasiswa menyetujuinya. Apalagi, menurut sejumlah pihak dokumen yang dilansir para mahasiswa merupakan sebuah “coppy and paste” sehingga di sana sini tidak runtut arah kiprahnya.
Kedua (2), issue juga bersifat setengah sampai karena tidak jelas “pengirim” pesan dan “penerima” pesannya. Barangkali sekelompok mahasiswa UNTL itu hanya bertindak sebagai “kurir” (tukang pos), tetapi mereka sendiri tidak begitu yakin dari mana “daftar nama” itu datang dan ke mana akan dialamatkan; lebih-lebih siapa yang harus bertanggung jawab ketika menerima pesan itu. Semua orang yang menerimanya tidak selalu bisa memegang teguh kiriman tersebut; dan kalau pun dibuang di jalanan, semua orang bisa memungut dan membuangnya tanpa beban.
Ketiga (3), issue juga bersifat setengah serius karena ketika tidak terlalu ditanggapi dia akan menguap begitu saja. Mungkin para mahasiwa UNTL bersikap sangat serius, tetapi ketika pemerintah dan partai oposisi tidak terlalu serius menanggapinya maka pada gilirannya para mahasiswa pun tidak akan melakukan pengejaran (apalagi penangkapan) terhadap unsur-unsur UNTAS. Lebih tidak serius lagi, karena di dalam partai-partai besar (FRETILIN dan CNRT) selalu saja ada ex-UNTAS yang bersedia melakukan apa saja bagi boss-bossnya. Misalnya, kunjungan-kunjungan Dr. Mari Alkatiri ke partai-partai politik di Indonesia (seperti PKS atau ormas Islam lainnya), disponsori oleh mantan pentolan gerakan pemuda pancasila yang berjiwa “besi (paling) merah” pro-integrasi namun yang membelot menjadi berkedok “paling nasionalis” pro-merdeka (sampai saya ketakutan sendiri) dan FRETILIN biasa-biasa saja (bahkan Jose Reis dengan senang hati mengumumkan bahwa PKS akan menghadiri pemilihan langsung dewan pengurus pusat/DPP FRETILIN, yang tentu saja diantar oleh mantan pemuda pancasila/ besi paling merah yang membawa Alkatiri ke Jakarta)! Ada yang menyebut, mengapa para mahasiswa tidak menyertakan nama Aisya Basarewan (deputada FRETILIN) atau Provedor dos Direitos Humanos Sebastião D. Ximenes, dan Francisco Kalbuady? Atau, pastilah kunjungan Maun Boot Kay Rala Xanana Gusmão ke NTT diterima dengan sangat meriah oleh Timor oan di sana? Apalagi Xanana sudah gembar-gembor menjadi gembong ASEAN yang dipromotori oleh Indonesia. So, what githu lho!
Keempat (4), issue masih menyisakan masalah tentang “validity claim” dan karena itu bersifat setengah sahih. Sampai sekarang kelompok mahasiswa UNTL sendiri tidak melakukan investigasi untuk mendukung validitas apa yang disampaikannya. Sesudah muncul di TVTL, sampai sekarang tak ada gerakan kuat untuk menindak-lanjutinya. Hasilnya, kita belum mendapat bukti-bukti baru (novum) dari para mahasiswa tentang claim-nya. Mahasiswa sendiri lebih menganggap diri sebagai “morality outspoken” daripada “politic outstanding”. Memang tak ada sekat yang begitu ketat antara moral dan politik, karena itu posisi mahasiswa UNTL tetap setengah sahih.
Kelima (5), karena bersifat setengah-setengah maka issue UNTAS hanya merupakan sebuah demokrasi tanpa parlemen dan demonstrasi tanpa jalanan: di tempat mana saja kita mendengar issue-issue tanpa harus ada “public office” (Hannah Arendt), dan di mana saja kita menemukan issue-issue tanpa harus ada ijin atau larangan dari PNTL terhadap “public sphere” (Jurgen Habermas). Sebagai gosip, dia hanya menjadi sebuah pemanasan global bagi event yang lebih menarik ialah “pemilihan umum 2012”.
Tetapi, keenam (6), issue UNTAS menjadi sangat serius ketika kita menyentuh nation building. Kalau akhir-akhir ini kita berbicara tentang “State-building”, maka sebenarnya yang hendak dibangun ialah kedudukan politik kekuasaan simbol-simbol negara (órgão de soberania do Estado), yaitu, Presidente da Republica, Parlamento Nacional, Governo dan Tribunais, termasuk institusi-institusi lain dalam Negara. Pendek kata, yang dibangun ialah sebuah komunitas elite politik. Boleh saja kita “muturabu” berkelahi lagi dengan UNTAS, jikalau benar bahwa ada tindakan atau gerakan “yes we will be back!” Karena State-building hanya bagi warga negara Timor Leste. Orang luar pagar tidak boleh masuk. Tetapi kalau hanya “ex-UNTAS”, yah “nggak usah repot”.
Hanya saja “yes we will be back!” juga benar, seandainya kita berbicara tentang Nation-building. Sebab, “nation” (dari kata Latim “nascere” atau Portugues “nascer”, artinya – lahir, mulai hidup, berkembang), menunjuk pada identitas legal dan legitimo seseorang berdasarkan aliran darah dalam tubuhnya. Makanya, berdasarkan kelahirannya (naturalidade), maka mereka tetap Timor-oan, meski mereka bukan nacionalidade Timor Leste karena sekarang mereka telah memiliki kewarga-negaraan Indonesia.
Meski begitu, masih ada sebuah imperativo categorico yaitu: berbuat terbaik (summum bonum) demi kebaikan bersama (bonum comune). Mereka yang lahir di Timor Leste adalah Timor oan, meski hidup di tanah orang lain. Membangun bangsa (Nation building) yang beradab ialah merangkul “saudara-kandung” yang hidup terpisah. UNTAS, jika berkulit adat (lisan) Timor oan dan berwajah budaya Timor oan tetap harus diterima sebagai kenyataan sejarah, bahkan nasib bersama. Menurut saya, UNTAS ialah “primordial sentiment” – perasaan kedaerahan karena mereka yang tergabung dalam UNTAS adalah Timor oan, apa pun perbedaannya. Saya setuju (dan secara terbuka mendukung, bila perlu menjadi anggota UNTAS baru) bahwa UNTAS merupakan sebuah gerakan kebudayaan (movimento cultural), termasuk kebudayaan politik (culture of politic) dalam rangka Nation-building. Sikap ini jauh lebih terhormat, dari pada bikin “issue-issue” murah meriah. Apalagi, ketika terjadi tragedi Merapi di Yogyakarta (2010) dan Tsunami di Nias/ Sumatera, Timor Leste memberi bantuan USD 1.000.000 (lewat MSS)! Mengapa kita tidak membantu ‘saudara-kandung’ UNTAS di Indonesia dengan memberi “hati baru”?
“Revolta Metafisica” Mahasiswa dan “Character Building”
Tetapi juga menggelitik, apakah para Mahasiswa di UNTL harus dipersalahkan seluruhnya demi urusan “far torang baku bae-bae dengan UNTAS”? Menurut pendapat saya, deklarasi para mahasiswa ialah sebuah “revolta metafisica”, tetapi tidak harus dilihat sebagai revolusi social-politik! Apa pula itu?
Gebrakan para mahasiswa UNTL bisa dibedakan antara “revolta” dan “revolução”. Menurut Jacques Le Goff, “A revolução, mesmo se ela não foi preparada, termina numa mudança radical das instituições. Ela é portadora de um projeto de sociedade, que pode ser louco ou delirante, mas que é coerente. A revolta, ao contrário, é um movimento mais eruptivo, mais imprevisível, e que não é necessariamente centrado no futuro” (dikutip dari P.J. Lima Piva, Ateismo e Revolta: 30).
Tidak perlu kita khawatir tentang aksi para mahasiwa itu, karena mereka tidak membuat revolusi untuk mengubah institusi secara radikal. Dikatakan, “revolusi, meski tidak disiapkan sebelumnya, berakhir dalam sebuah perubahan radikal institusi-institusi terkait. Ia (revolusi) ialah pembawa sebuah proyek kemasyarakatan, yang mungkin gila atau sembrono, tetapi tetap teguh”. Tetapi, bagaimana bisa terjadi perubahan radikal, seandainya, partai yang berhaluan “revolução” sendiri dihuni oleh orang-orang yang dulunya juga pro-integrasi! Atau, tokoh-tokoh revolusioner sendiri memasang senyum paling mantap dengan mantan ABRI dan tokoh-tokoh Indonesia lainnya? Bahkan mereka bisa memberi servis bagus bagi artis tempoe doeloe (alias, bukan artis seri A atau liga primera, melainkan seri B/ C) dengan layanan VIP (termasuk memakai milik Estado keliling Dili Atauro), tanpa perlu menghiraukan perasaan kebangsaan orang Timor Leste sendiri? Apalah gunanya ribut-ribut soal UNTAS. Keciiilll itu?! Lebih baik merangkul Timor oan sendiri yang hidup susah di rantau, dari pada menadah barang rongsokan meski pernah jadi artis sekalipun. Sekali lagi: para mahasiswa UNTL bukan ancaman.
Sebuah revolta, sebaliknya, merupakan sebuah gerakan yang lebih berlahar, lebih menantang, dan yang tidak perlu harus membongkar masa depan. Di sinilah menariknya gerakan mahasiswa UNTL yang selalu mengangkat segala masalah paling krusial. Barangkali di sinilah keseriusan sebuah issue tentang UNTAS.
Untuk lebih tajam bisa dikatakan bahwa pemberontakan mahasiswa UNTL “... é um ser consciente e portador de um valor crucial, a solidariedade, é alguém que, em função desse valor, profere um eloqüente não ao mesmo tempo em que expressa um efectivo sim: um não a todas as situações desumanas e um sim à possibilidade de uma ordem humana mais justa” (ibid: 31). Mereka merupakan orang-orang yang sadar dan pembawa sebuah makna krusial, sebuah solidaritas, adalah orang-orang yang, dalam rangka nilai-nilai tersebut, mewartakan sebuah “tidak” yang elok pada saat yang sama mereka mengungkapkan sebuah “ya” kepada kemungkinan adanya tata hidup yang lebih manusiawi dan adil.
Kita perlu menyadari bahwa jika di dalam Governo (FRETILIN dan AMP) dan Parlamento (idem) sudah ada ex-UNTAS, maka tak perlu kita memaksa argumen untuk mendiskreditkan mereka. Di sinilah letak pesan positif dari para mahasiswa, tetapi gagal disampaikan secara elok. Kesalahan para mahasiswa di UNTL ialah bahwa mereka menampar muka ex-UNTAS di AMP, tetapi tidak menyepak orang-orang yang sama di dalam FRETILIN. Dan kesalahan tersebut muncul, lantaran mereka kehabisan akal untuk melakukan analisis ilmiah yang cerdas. Meski demikian, “revolta” yang ditunjukkan para mahasiswa UNTL tetap menarik karena adanya “sensibilidade absurda” – mereka bingung harus menentang dan menantang siapa. Hanya saja, sesudah gebrakan para mahasiswa tersebut kiranya para politisi di Governo dan Parlamento tidak bisa lagi seenaknya berargumen tentang “pro-otonomi” dan “pro-independensia”. Sebab, di dalam FRETILIN pun ada, di dalam AMP pun ada. Itu pertama.
Kedua, graça (syukur) bagi mahasiswa UNTL bahwa melalui mereka kita bisa mengetahui bahwa UNTAS telah melakukan kongres dengan ungkapan “yes we will be back!” Tetapi, haruskah UNTAS disalahkan? Kalau dibaca baik-baik, sesungguhnya UNTAS telah menciptakan sebuah sikap tulus dari “revolta”-nya sendiri, “ ... a mais pura expressão de solidariedade, o que torna ‘irmã gêmea da compaixão’ (ungkapan paling murni dari solidaritas, yang pada gilirannya menjadi saudara kembar dari belarasa)”. Bahwa dalam penderitaan dan kemalangan, dalam persaudaraan dan kerinduan, mereka yang berkongres di Kupang (2010) berusaha menambal kembali hati yang koyak di masa lalu. Baik mereka yang berada di NTT (atau bagian lain di Indonesia) maupun dengan saudara-kandung di Timor Leste. Yes, we will be back! Dari sudut pandang tersebut, kiranya orang-orang yang berada di belakang para mahasiwa UNTL, atau para mahasiswa sendiri telah bertindak semberono (arbiru deit) bahkah memalukan. Bagaimana mungkin, orang-orang di Kupang yang ingin “menyembuhkan luka” dan “mendamaikan masa lalu” harus dilawan dan dikutuk? Itu tidak manusiawi. Itu tidak religius Kristen-Katolik. Itu melawan sikap yang adil dan bermartabat.
Tetapi, ketiga, yang jauh lebih penting ketika para mahasiswa UNTL itu tanpa sadar telah melakukan sebuah pemberontakan metafisika, “a revolta metafísica é o movimento pelo qual um homem se insurge contra a sua condição e contra a criação. Ela é metafísica porque contesta os fins do homem e da criação” (Albert Camus). Dikatakan, pemberontakan metafisika sebagai sebuah gerakan yang dengannya seseorang menantang kondisinya dan penciptaannya sendiri. Dia adalah metafisika karena melawan tujuan manusia dan penciptaannya. Banyak kalangan yang menulis dan mengomentari tindakan para mahasiswa tersebut. Dari sudut “fisika” (pengamatan kasat mata) – memang aksi para mahasiswa UNTL tersebut tidak terlalu meyakinkan, tidak jelas, tidak terukur, dsb. Ada yang sampai menulis “baku bidong mamuk” (menabuh tong kosong). Tetapi dari sudut “metafisika” – terdapat sebuah pesan yang sangat jelas – yaitu – menantang kondisi dan penciptaannya. Ada sebuah ‘kemuakan’ (laran sae, atu muta sai) terhadap segala bentuk hubungan dengan masa lalu yang tidak pernah diselesaikan dengan baik dengan Indonesia. Di dalam UNTAS sendiri terlihat semacam ‘pemberontakan’ untuk kembali ke “originalitas”, kepada primordial sentiment sebagai Timor oan. Sangat simpatik bahwa UNTAS ingin membangun sebuah identidas kultural baru, sebuah character building meski belum menemukan ruang dan waktu yang tepat. Di dalam UNTL terdapat ‘pemberontakan’ karena hampir tidak lagi menjadi pusaran perhatian politik. Mereka bahkan dihibur dengan sikap sinis: “sebaiknya belajar saja”. Namun Governo (FRETILIN dan AMP) tidak pernah memugar UNTL sebagai sebuah monumen kampus perjuangan, sebuah kampus veterano! Bahkan, mungkin nyatanya ia hanyalah kampus yang tidak manusiawi, apalagi “menara gading” bagi intelektual. Sementara, mahasiswa sendiri hidup tanpa “roh” intelektual karena kurangnya motivasi dan insentivo bagi perkembangan mereka. Dengan kata lain, hampir tak ada character building bagi kaum muda dan intelektual muda.
Dalam kerangka ini sesungguhnya FRETILIN dan CNRT, termasuk FALINTIL harus “digasak”/ “digebuk” karena menciptakan kondisi ‘kemuakan’ itu. Apa yang dimuaki? Menurut pendapat saya, proces elitisasi dalam istilah “nasionalismo” kita dewasa ini. Nasionalismo kita telah kehilangan dimensi rohaninya – yaitu: “... desenvolvimento de uma sociedade solidária e fraterna”. FRETILIN, FALINTIL, CNRT dan Veterano selalu berkembang terus menjadi “elite” baru yang dengan bangga memamerkan hasil perjuangan mereka dan kekayaan Timor Leste di Indonesia, membawa artis-artis rongsokan dan intelektual kecil-kecilan yang datang sambil melambaikan tangan bagi orang-orang kecil di pinggiran jalan Dili dan mengabaikan pelaku-pelaku kebudayaan dan intelektual Timor Leste sendiri. Hanya saja kalau mahasiswa UNTL ikut-ikan menjadi “rasio instrumentalis” yang dipakai oleh orang lain untuk menjadi elite baru yang sedang buka lowongan di tahun 2012 maka para mahasiswa pun harus dilawan.
*) Penulis: direktur Komisi Keadilan dan Perdamaian Diosis Baucau, dosen filsafat politik, etika dan ateisme kontemporer di Seminari Tinggi S. Pedro e S. Paulo, Dili
No comments:
Post a Comment