Mar 27, 2011

Untas yang Visioner (Prediksi Merangkul Warga Timor Timur di Diaspora)


HARIAN ini pada edisi Rabu 1 Des menurunkan pada halaman depan pucuk pimpinan yang baru dari UNTAS, Uni Timor Aswain, Eurico Gutteres c.s. untuk periode 2011-2015. Tulisan ini bermaksud untuk memberi beberapa pokok pikiran – bukan baru – yang harus disikapi dengan cara dan pola baru.

Spirit kehidupan yang terus menggema dalam Kongres II UNTAS kali ini hemat saya ada pada kerinduan untuk menemukan sebuah sosok yang menjadi pengayom. Penyayom di sini tidak saja semata memberi harapan akan terpenuhi kebutuhan hari ini, melainkan terlebih harapan ke depan.

Pada perspektif tertentu, yakni berkenaan dengan realitas kehidupan Masyarakat Timor Timur di Diaspora, hal terpokok yang harus dilakukan oleh pengurus baru adalah membuat peta persoalan, yakni menyusun sebuah daftar yang riil mengenai kesulitan, persoalan dan tantangan yang sedang dialami warga UNTAS.

 

Peta persoalan yang benar akan memberi inspirasi untuk merefleksi strategi dan pola yang benar untuk menangani sampai tuntas dan bukan serampangan. Di sini, para politisi (terlebi para elit politik) hendaknya mengerem diri untuk menyelesaikan pelbagai persoalan dan kesulitan di tataran politik semata. Yang saya maksudkan adalah membedah persoalan dengan mengakarkan pemahaman pada kesulitan riil masyarakat, yang dialami secara berbeda dari keluarga yang satu dan keluarga yang lainnya.

Tugas para pengurus baru tentu sangat mulia pada sisi pegamatan ini yakni harus rela dan bersedia untuk senantiasa keeping in touch dengan masing-masing warga UNTAS. Yah, kegembiraan dan harapan, duka dan derita setiap warga UNTAS harus menjadi kegembiran dan harapan, duka dan derita para pengurus pula.

Secara berbeda jangan nanti timbul kesan sebaliknya bahwa penderitaan dan duka nestapa warga UNTAS justeru dijadikan sebagai medium empuk bagi percaturan politik para pengurus. Secara random saya pernah berada di tengah para warga UNTAS. Riak-riak yang terujar dari mereka adalah tidak saja kesepakatan politik, melainkan rancangan yang riil, yang dapat memberi harapan baru bagi mereka untuk hidup berdamai dengan situasi saat ini.

Dalam arti, nuansa kehidupan di diaspora, tidak saja membuat mereka menjadi orang asing, melainkan mereka harus sungguh-sungguh percaya bahwa inilah tanah air mereka sendiri, tanah air dan tempat yang aman di mana mereka dengan penuh kebebasan dapat bekerja bagi kebutuhan setiap hari, lalu dengan optimisme membangun masa depan yang lebih visioner. Paradigma kehidupan sementara warga eks Timtim saat ini, hemat saya, harus diperthatikan oleh para pemegang pucuk pimpinan yang baru. Hidup warga masyarakat UNTAS harus menjadi urat nadi para pengurus. Kesulitan hidup warga eks Timtim, harus menjadi persoalan badan pengurus.

Sebagai bagian integral dari konstelasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, setiap warga eks Timtim harus dikembalikan perasaannya akan wilayah yang sekarang ini didiami sebagai domain mereka sendiri yang juga menjanjikan susu dan madu kehidupan yang bermartabat.

Ketika beberapa minggu yang lalu saya berjumpa dengan beberapa kekasih Umatku yang eks Timtim. Kata mereka seakan menyindir, “Kami hanya berhasrat untuk membela “air Indonesia” oleh karena kami tidak punya tanah”, pernyataan ini bukan satu lelucon, melainkan sebuah kenyataan, yang juga dialami oleh warga Timtim yang lain.

Para pengurus UNTAS yang baru hendaknya memiliki daftar yang riil tentang warga yang kendati sudah bertahun-tahun berada di diaspora, namun belum juga memiliki tanah sejengkal pun untuk membangun masa depan yang baik. Sepintas bisa saja terdapat dalam laporan formal kepemerintahan bahwa bantuan kepada warga eks Timtim sudah jauh dari mencukupi, walau harus direfleksi berkali-kali, mengapa masih ada seribu satu persoalan, yang ternyata diselipi dengan keluhan lama mengenai warga yang belum memiliki lahan sendiri.

Jika masih ada warga yang belum memiliki lahan, lalu persoalan berikut, apakah mereka telah memiliki rumah tempat tinggal yang layak, pertanyaan kita: adakah itikad pengurus baru untuk sesegera mungkin menangani persoalan-persoalan tersebut? Data dan daftar persoalan yang benar-benar mengungkap kondisi kehidupan warga eks Timtim, justeru akan sangat membantu para pengurus dalam usaha membangun kehidupan yang layak dan bermartabat.
Ada suara yang menggelitik, ketika mendengar kata diaspora.

Dalam arti, warga eks Timtim sudah merupakan penduduk Indonesia 100 %. Karena itu istilah diaspora sebetulnya tidak sesuai untuk dipasang pada pundak warga jenis ini. Terlepas dari diskusi akan apakah istilah tersebut benar, realisitik dan sungguh-sungguh penting atau tidak, hemat saya yang harus diperhatikan adalah refleksi dan telaah ulang mengenai perhatian pemerintah terhadap warga Negara Indonesia asal Timtim.

Beberapa tahun silam perhatian pemerintah – baik pusat maupun daerah – terhadap kelompok ini boleh dikata sangat istimewa oleh karena kondisi kehidupan yang sangat menyedihkan pasca jajak pendapat 1999 yang hasilnya adalah mayoritas kawasan itu memilih untuk merdeka, menjadi Negara sendiri terlepas dari NKRI.

Sebuah laporan Pemda NTT tahun 2001 berjudul Pelayanan Kemanusiaan Dalam dan Dengan Pelbagai Keterbatasan setebal 272 halaman dan lebih dari 50-an halaman lampiran menunjuk bahwa perhatian kepada kelompok masyarakat eks Timtim harus dituntaskan. Dalam arti proses penanganannya sesuai konteks NTT harus diteruskan.

Tanpa mengabaikan pelbagai kemajuan, sebagaimana yang ditulis dalam laporan tersebut dan juga oleh harian ini (Senin 29 November), pemerintah baik pusat maupun daerah (terlebih pemda NTT) hendaknya menelaah kembali berbagai pendekatan yang digelar selama ini untuk membantu komunitas Timtim di wilayah diaspora.

Satu hal terpuji dari laporan Pemda NTT di atas adalah digambarkan bahwa secara nasional telah digelar sebuah alternative Pendekatan Kemasyarakatan, yang cikal bakalnya merupakan adopsi dari beberapa pola. Antara lain pola pendekatan perorangan, kelompok, wilayah dan system.

Untuk konteks NTT, urai laporan tersebut, diangkat empat hal pokok antara lain, pertama, pola budaya. Pusat perhatian faktor pertama ini adalah rumusan yang benar mengenai nilai-nilai yang berkembang, identifikasi norma-norma yang berlaku, pemahaman yang tepat berkenaan dengan arti dan makna kehidupan yang berkembang, refleksi simbol dan pembagian kerja dalam masyarakat.

Kedua, relasi atau hubungan antar pribadi, yang merangkumi intensitasnya, frekuensinya, derajat kerja sama dan derajat konflik dalam masyarakat. Yang ketiga, struktur sosial yang meliputi derajat consensus, tipe kekuasaan yang berlaku dan struktur otoritas. Yang keempat, tingkat individu, yang berkaitan sangat erat dengan karakteristik pribadi dan orientasi subyektif (selanjutnya baca laporan itu pada hal 33-34).

Kembali kita kepada UNTAS. Strategi pendekatan yang telah dilakukan pemda NTT beberapa tahun silam, hemat saya masih sangat relevan untuk dan bagi pribadi TUNTAS. Terlebih untuk membuat sebuah compendium persoalan, yang telah, tengah dan akan dihadapi warga Negara Indonesia asal Timtim.

Sementara itu, besar harapan agar UNTAS kiranya senantiasa setia pada hakekatnya sebagai organisasi massa yang bukan partai politik. Cetusan hati UNTAS ketika mendeklarasi diri sebagai “bukan partai politik”, seperti terungkap pada harian ini (Senin 29 November) itu merupakan sebuah luapan hati yang hendaknya didukung oleh seluruh jajaran dan lapisan warga eks Timtim.

Dukungan yang memiliki bias kehidupan dan makna kemasyarakatan adalah sejumput perilaku sosial yang tidak saja bermanfaat bagi pengembangan kehidupan keluarga yang baik dan pola kehidupan kelompok yang bermartabat, melainkan lebih luas yakni memberi air segar bagi pembangunan kemasyarakatan yang lebih visioner dalam bingkai NKRI.

Untuk itu sangat diharapkan agar para sesepuh UNTAS tidak menggiring warganya untuk terpenjara pada parpol tertentu. Referensi UNTAS harus pada realitas kemasyarakatan setiap hari, agar warga Negara Indonesia asal Timtim ini selalu melihat dirinya sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bermartabat.

Setiap warga eks Timtim (UNTAS) di mana saja harus melihat dirinya sebagai warga NKRI yang harus terus berjuang bagi kejayaan bangsa dan Negara Indonesia ke depan. Perjuangan jangan selalu diartikan secara politis, melainkan harus pada masalah-masalah kemasyarakatan – juga kerakyatan - berkenaan dengan suaha yang tuntas untuk memerangi kemiskinan, kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan.

Cetusan hati ketua terpilih Eurico untuk membawa UNTAS sebagai organisasi yang bermartabat, demokratis dan damai (Timex Rabu 1 Des: 7) ini perlu didukung oleh seluruh jajaran warga eks Timtim di Diaspora. Seirama dengan hasrat sang ketua untuk tetap membangun UNTAS sebagai rumah bersama, maka UNTAS harus selalu bertanggungjawab untuk tetap mewadahi kepentingan bersama dengan tugas utama “tetap” menjadi penyalur aspirasi masyarakat.

Ke depan, hal yang akan senantiasa mengganggu adalah sebuah peluang dan kecendrungan untuk: apakah di dalam kehidupan bermasyarakat, UNTAS akan tetap menjaga posisinya sebagai organisasi yang independen dan non partisan atau tidak. Sebagai sebuah rumah, UNTAS harus mencipta suasana home bagi setiap warga dan anggota yang tergabung di dalamnya.

Para pengurus baru perlu merangkul berbagai pihak, menata wadah ini sebagai jendela kehidupan bagi warga eks Timtim, juga membina kekerabatan dan persaudaraan sejati yang jernih – bagai air bening - di antara semua warga eks Timtim. Pasang telinga untuk mendengar jeritan hati dan cetusan budi akan suka dan duka serta seribu satu perasaan kaum yang sedang melanglang di seluruh jurus diaspora!

Oleh: P. Gregor Neonbasu SVD, PhD)
Penulis adalah Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Prop NTT, Direktur Puslit MANSE NSAE Kupang

No comments: