Tidak ada revolusi yang setengah-setengah. Tidak ada revolusi dengan perhitungan untung rugi. Tidak ada revolusi dengan kepura-puraan dan Revolusi adalah jiwa sesungguhnya dari dunia ini. Jangan pernah hidup di dunia yang setengah-setengah (Yang ini dari CHE). Jangan termakan janji muluk surga! Juga jangan takutkan kebengisan neraka. Siapa yang sudah pernah ke SURGA atau NERAKA dan kembali selamat ke dunia ini? Hiduplah sebagai manusia yang berevolusi, tidak peduli apa kata yang lain. Selama masih bisa berjalan dan masih mau berjalan, berjalanlah sebagai manusia. Sungguh-sungguh sebagai manusia. Jangan biarkan uang, posisi, jabatan dan kemegahan yang hanya merupakan imitasi surgawi merayumu untuk berhenti!
Kata-kata Che yang saya perdalam ini merupakan sedikit inti dari kebingungan dan juga keterkejutan saya siang ini. Hari ini saya mengunjungi seorang kawan lama saya yang terkenal cukup ekstrim dalam bersikap di kawasan Kemang. Dari nama tempatnya pasti semua orang yang langsung berpikir dangkal dan banal pasti mengira dia banyak uang. Hidupnya sederhana, Uang kosnya sudah membukit tiga bulan dan untuk makan saja dia tidak bisa memenuhi quota tiga kali sehari. Yang pasti dia menghidupi secara baik pemikiran Marxisme khususnya mengenai alienasi dan kerja. Pernah dia lolos dan bekerja sebagai seorang wartawan handal yang cukup disegani, namun toh pada akhirnya kekuasaan kapital membuat dia menentukan sikapnya sendiri. Menentukan langkah dan juga masa depannya sendiri.
“Apa semua yang sudah kaya itu benar-benar manusia?” katanya begitu saja ketika kami sedikit berdiskusi soal uang, kuasa dan jabatan yang benar-benar menenggelamkan Indonesia (bukan saja Jakarta) dalam sekian banyak keterpurukan. “Saya berusaha menemukan makna hidup saya sebagai manusia sendiri. Saya tidak bisa hidup seperti kalian yang lain, yang menulis untuk membahagiakan bos dan juga pemilik perusahaan. Kalau mau menulis yang benar, yah benar lah. Inti dari media adalah penyebaran kebenaran kepada masyarakat, khususnya mereka yang belum tahu, bukan berisi tebak-tebakan sepanjang masa,” lanjutnya.
Saya diam saja dan tidak mau memancing singa lapar yang lama tidur ini untuk terus berteriak. Bahkan sekalipun di kosannya, ketika saya menawari mentraktirnya minum, dia langsung bilang pesan teh plastikan saja di warung depan. Saya berkelakar, tapi itu teh milik kapitalis juga yang sengaja memakai brand lokal. Tuh rokok yang lagi kamu hisap juga ujung-ujungnya semua diut mengalir ke kantong pemiliknya.
Dia diam dan akhirnya pasrah. Kali ini dia kalah. Namun, dia tidak berhenti ber-revolusi. Paling kurang itu dibuktikannya dengan konsisten memberi kritik dan juga masukan di beberapa milis wartawan dan eks-wartawan yang sempat dia ikuti. Dia juga tidak berhenti menjadikan diri kecil di antara semua yang berlomba menjadi besar. Dia bahkan secara ekstrim berdoa di rumahnya saja, hanya karena cemburu TUHAN-nya juga dirayu oleh kapitalis-kapitalis yang selalu memberi kolekte besar hasil dari ‘pemerasan’ dan ‘penjarahan’ yang mereka lakukan. Dia hidup sederhana, menjalankan revolusinya yang ekstrim dengan sederhana bahkan dengan sedikit ‘takut’ dia berkata bahwa dia ingin mati secara sederhana.
Kami melanjutkan obrolan kami dan kira-kira tepat pukul 13.45, saya cuma batuk dan melirik ke meja makannya. Spontan dia tersenyum dan segera mengambil piring yang disimpannya di luar. Hujan gerimis membuat piring-piringnya sedikit basah. Sebelum dia pergi membeli sedikit lauk-pauk untuk kami, dia membersihkan piring-piring itu.
Agak heran saya. Baru kali ini piring-piring itu dibersihkannya dengan (mohon maaf) celana dalam. Kaget dan serasa tidak mau langsung makan di tempatnya.
“Tenang... ini masih baru, tuh lihat saja masih ada dua lainnya di dus. Gus Dur juga pernah membersihkan piring dengan celana dalam. Ini masih baru. Hadiah Valentine dari tuh,” katanya sambil menjulurkan bibirnya ke foto kekasihnya yang berada di atas tempat tidurnya.
“Tapi bukan merk Amerika khan? Pasti buatan Indramayu,” sambung saya sekenanya membangkitkan emosi revolusionernya.
Hari ini dia mengajarkan saya bahwa persembahan terbaik untuk kemanusiaan bisa didapat dari usaha sungguh-sungguh dengan modal dan kekuatan seadanya. Yang penting ikhlas dan benar-benar mau mempersembahkan yang terbaik. Celana dalam sekalipun bisa dipakai untuk membersihkan piring, kalau itu masih baru. Bahkan mungkin hasilnya lebih bersih dari sarbet kotor. Piring bersih bukan dari sarbet yang kotor, bisa juga dari celana dalam yang benar-benar bersih dan ikhlas.
Rasanya mau langsung memberishkan muka Presiden RI, para mentri, kroni mereka di DPR, para pengusaha kaya konglomerat yang sedang berkeringat itu dengan celana dalam. Yang masih baru tentunya, biar mereka segar dalam memikirkan bangsa ini, bukan memikirkan bagaimana mencuri dan menghabiskan kekayaan bangsa ini.
“Makasih bro, lain kali jangan pakai sarbet untuk membungkus yang lain ya!”
Oleh: Ermalindo Albinus Joseph Sonbay
No comments:
Post a Comment