Ermalindus A. Sonbay
Ibn Sina (foto google) |
Kalau Juergen Habermas pernah menelorkan perlawanan terhadap ide pre-supposive rational, mengenai rasionalitas yang diarahkan untuk kepentingan tertentu, maka filosof Muslim yang banyak menjadi penasihat raja-raja di Timur Tengah, Ibn Sina berhasil menyajikan sajian khas Asia dalam ramuan akali yang tak terbantahkan. Logika. Ibn Sina memainkan logika dalam sebuah ‘kebebasan’ menggunakan logika dalam keluasan, bukan memenjarakannya dalam kepentingan tertentu hanya untuk meloloskan nilai. Logika menurut Ibn Sina adalah bukan sekadar proses penalaran yang diracik dalam adonan silogisme, melainkan logika yang terarah pada sebuah keluasan. Logika adalah keluasan itu sendiri yang membentuk di dalamnya keteraturan demi keteraturan bagi otonomi alam pikiran yang bertanggung jawab.
Keterarahan pada keluasan dengan struktur logis tertentu, haruslah dimaknai sebagai daya yang mengondisikan peluang bagi kontinuitas otonomi logika, karena logika bukan saja dikondisikan oleh manuver dan evolusi dari dalam, tetapi juga kondisi eksternal yang turut memberi warna dan bentuk bagi logika. Jika Aristoteles menekankan pentingnya materi ketimbang forma yang ideal untuk melawan ‘dunia ide’ Plato, maka Ibn Sina memberi ruang yang lebih seimbang terhadap pertemuan materi dan forma. Media logika dipakainya untuk mendamaikan perdebatan lama antara Plato dan Aristoteles. Orientasi dan objektivitas yang diramu hal-hal eksternal dipadu dengan subjektivitas dan disposisi internal.
Silogisme dengan aksentuasi sempit di seputar alur premise per premise hanya akan mengandangkan ciri berpikir manusia ini pada hal-hal seputar persoalan matematis teknis biasa. Dengan kata lain, jauh sebelum post-modern menemukan formula-formula moralitas yang kuat dan terbuka, Ibn sin sudah menggariskan keluasan bagi penerapan logika khususnya dalam menengarai, mengidentifikasi dan memberikan solusi konstruktif terhadap kasus-kasus di seputar humanisme pasca keruntuhan metanarasi-metanarasi dari gaya klasik. Ibn Sin memberikan kesempatan bagi perkembangan peradaban modern untuk menenun dasar logis sendiri untuk mendekati persoalan moral post-modern. Ibn Sin mengafirmasi kerangka Thomas Kuhn yang berusaha untuk senantiasa menggeser paradigma-paradigma berpikir untuk memberi dukungan dan layanan bagi kemanusiaan.
Paradigma berpikir hanya dengan mengunci logika pada dukungan mutlak terhadap ilmu pengetahuan juga perlu ditinjau kembali. Logika bernilai lebih jika bisa diabdikan pada kemanusiaan dan bisa mengubah kultur-kultur negatif manusia menuju inovasi dan ekspansi ke arah yang lebih baik tanpa kehilangan kekhasan dan spesifikasi. Jika J F Lyotard membuat manuver filosofis dengan membangun menara-menara karakteristik yang spresial, maka Ibn Sina akan memberikan roh logika yang variatif dan luas kepada bangunan-bangunan ketunggalan dan penajaman post-modern tersebut. Pada sisi lain menara-manara pemikiran kontemporer yang sudah dibangun Lyotard tentunya perlu diadaptasikan lagi dengan keterjalinan satu sama lain dengan ideal komunikasi yang komunikatif a la Habermas. Spirit Jacques Deridda yang mengedepankan kehadiran teks-teks kultural kontekstual menjadi dekorasi lain yang memperindah post-modern.
Habermas pernah berkata bahwa keterjalinan dan interaksi yang terjadi antara bangunan-bangunan yang ada sedapat mungkin dimaknai dalam desain yang komunikatif. Hal ini untuk membedakan dari pendekatan pragmatis dan strategis biasa. Pendekatan komunikatif ini juga harus diberi roh keluasan dari segi logika yang bebas dan otonom hingga jalannya komunikasi tidak dinilai sepihak dengan kesan represif dan otoriter.
Habermas menekankan secara khusus empat kaidah relasi yang komunikatif, yakni, ungkapan bahasa, kebenaran, kejujuran dan ketepatan. Kalau orang mengatakan sesuatu, maka itu dilakukan dalam bahasa dan sistem simbol yang diandaikan dipahami bersama; penggunaan bahasa dan simbol itu dilandasi keyakinan bahwa mereka sungguh mengungkapkan secara benar gagasan yang mau disampaikan; bahwa itu terjadi dengan memperhatikan norma, nilai, peran, aturan, konvensi yang diterima bersama; dan bahwa subyek mengungkapkan bahasa secara jujur dan proses pentransferan informasi juga dilakukan secara jujur hingga objek penerima informasi dan partner dalam komunikasi bisa menerima secara jujur pula.
Tujuan utama logika adalah menyediakan aturan yang mengarahkan individu agar tidak jatuh ke dalam kesalahan penalaran. Logika bukan untuk menemukan kebenaran baru, tapi membantu individu untuk menggunakan kebenaran yang sudah ada. Serentak bagaimana manusia bisa bertahan dalam proses menuju kebenaran secara benar. Konsep filosofis mengenai idea innata ditegaskan di sini. Bahwa, kebenaran sudah mengkristalkan diri dalam pelbagai hal dan manusia akan menemukannya dengan logika dan penalaran yang sejati.
Konsepsi logika menurutnya berasal dari luar. Konstruksi kebenaran yang sudah dikandung individu diolah secara niscaya oleh pengetahuan dan menjadi prinsip purba dari pemahaman. Interaksi dengan lingkungan menjadikan kebenaran bisa didorong ke puncak yang bisa dilihat oleh semua. Konsepsi ini juga berhubungan dengan cara membangun kesimpulan berdasarkan metode deduksi. Ada semacam keterjalinan antara rangkaian pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan sesudahnya. Hal ini tidak terbatas. Pilar utama ini yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebenaran yang mau ditemukan dengan logika.
Nah, para pemimpin (boleh baca politisi) yang terus berperang untuk mengklaim kebenaran sepihak, kebenaran sendiri dengan logika yang kerdil, saatnya semua membuka mata. Dunia tidak seluas Senayan hingga Merdeka Utara.
No comments:
Post a Comment