Feb 15, 2012

Belajar dari Singapura


Oleh: Ermalindo Albinus Joseph Sonbay

Ermalindus Sonbay
Ideal membentuk negara dengan sentralisasi pada pergerakan kota (Polis) mungkin klasik dan ketinggalan jaman. Yang hanya membaca dan mengerti sepintas di permukaan boleh jadi akan mengatakan bahwa ini ideal Aristotelian dan Platonik yang sudah jauh dari perhatian, karena selain kadaluarsa dan tidak bisa in dalam klik pemerintahan post-modern, ideal ini juga seakan dipaksakan, apalagi di tengah masyarakat yang kian hari kian acuh terhadap pemerintahan yang ada dan dikembangkan.

Tapi mungkin baik kalau sedikit pandangan dilemparkan ke batas Barat-Utara Indonesia. Yah, Singapura. Negara kecil ini telah membuktikan kepada dunia bahwa tanpa kecukupan bahan baku, potensi energi yang minim bahkan untuk sepuluh tahun ke depan akan benar-benar berada dalam garis energi yang apa adanya, akan tetapi Singapura eksis di lingkup Asia Tenggara bahkan Asia sebagai salah satu negara yang mampu menunjukkan taringnya.

Genealogi negara ini memang dengan sendirinya harus memilih bentuk negara-kota, karena selain topografi dan demografinya menuntut demikian, kompleksitas persoalan di Singapura, khususnya persoalan sosial memiliki pusat bidik yang lain. Bandingkan dengan Indonesia yang harus terus berkutat pada persoalan sosial-urban, kemiskinan, pun soal-soal patologis lainnya di lingkup birokrasi.

Salah satu hal yang membuat Singapura unggul adalah keterbukaan pemimpinan negara ini untuk merangkul kalangan swasta profesional dalam manajemen pemerintahan yang ultra-modern. Negera dijalankan dengan metode profesional nan sederhana. Ada titik-titik pergerakan khas kaum profesional yang memperoleh sokongan maksimal dalam pemerintah. Yang lebih banyak bekerja adalah agen-agen negara yang pakar di bidangnya. negara/pemerintah mengambil posisi sebagai owner (principal) yang mempekerjakan kelompok profesional non-pemerintahan (agent) serentak masuk dalam kontrak kerja yang profesional sejak perencanaan hingga evaluasi.

Tidak heran, dalam dua puluh tahun terakhir Singapura menjadi raksasa kecil (little giant) Asia Tenggara dengan sistem pendidikan terbaik (satu-satunya negara Asia Tenggara yang dua universitasnya masuk dalam 100 terbaik), angka pendidikan yang tertinggi (rata-rata 5.5 Doktor dari 10 penduduk), dan yang paling penting, Singapura adalah negara Asia Tenggara dengan pendapatan perkapita tertinggi serta indeks kesejahteraan tertinggi bahkan nomor dua di Asia setelah Jepang. Singapura menggusur China ke posisi ketiga pada pertengahan 2010 yang lalu.

Esensi Negara Kota
Mengembangkan negara kota mengandaikan keterbukaan pada inovasi, dan kecakapan mengadaptasikan perkembangan. Satu contoh kecil, Singapura berani bermain keras pada tataran ekonomi dengan membuka pusat judi terbesar di Pulau Sentosa (untuk menguatkan pulau ini ekspansi pulau menggunakan pasir asal Indonesia). Singapura mendirikan pusat judi melulu karena mengetahui bahwa potensi tarung begitu besar ada di Indonesia dan Malaysia pun beberapa negara Indo-China. Dan sayangnya, Indonesia dan Malaysia senantiasa terbentur pada disposisi agamais yang dijalankan dengan ketat karena kultur islaminya. Nah, tidak heran permainan kesempatan ini membuat Singapura bisa mendongkrak 35 persen pendapatan per kapitanya dari sektor judi dan beberapa bisnis yang dinilai 'ilegal' di Indonesia dan Malaysia.

Negara kota selain menguatkan peran membaca peluang jaman (zeitgeist), juga senantiasa mengedepankan kompetisi dan kreativitas dalam inovasi dan penemuan-penemuan penting. Hal ini yang tidak pernah ditemukan di Indonesia, bukan hanya karena tidak adanya keberanian untuk mendobrak, melainkan karena sakit birokrasi yang sudah sedemikian parah. Dalam sebuah studi kebijakan, Singapura diapresiasi karena mampu memaksimalkan dan memotivasi para pekerja sipil dan swastanya hingga berprestasi rata-rata 125 persen dari target yang ditetapkan. Di Indonesia penggandaan PNS dari tahun ke tahun malah hanya menempatkan negara ini sebagai peraih 27 persen hasil dari cita-cita nasionalnya.

Sentralisasi yang coba diurai dalam strategi otonomi daerah juga ternyata hanya menjadi mainan para 'raja kecil' di daerah, bahkan untuk kasus khusus seperti OTSUS Papua hanya meninggalkan luka dari tahun ke tahun. Pemerintah daerah pada titik tertentu belum berani bermanuver, pun belum terlalu kuat untuk mengatakan 'tidak' pada intervensi pemerintah pusat.

Lihat saja potensi wisata dan laut NTT yang begitu luas hanya menjadi bahan wacana politik belaka dari tahun ke tahun. Karakteristik wilayah dicampuradukkan dengan tidak jelas. Tidak ada yang berani melakukan penghancuran sistem (rule-breaking) yang mampu memberi ruang bagi implementasi tata-cara dan tata-nilai yang baru (rule-making). Mengapa pembangunan di Timor misalnya tidak terarah untuk menjadikan Timor identik dengan ternak? Konsentrasi pembangunan ternak mungkinkah dilokaliasasi di Timor? Atau mengapa kawasan pesisir Rote Ndao yang eksotis tidak menjadi sentral pengembangan wisata NTT yang melulu menjual Pulau Komodo, padahal komodo sebagai spesies yang butuh ketenangan akan terancam dengan trik manis para pengelola wisata?

Dan NTT?
Mengembangkan negara kota di NTT mengandaikan adanya kesiapan pemerintah dalam membangun dialog (bisa dibaca mendengarkan) apa yang disampaikan kelompok-kelompok profesional. Pemerintah tidak pantas untuk terus berada di bawah tempurung untuk menonton kekayaan NTT dicuri dan dibawa keluar. Pemerintah perlu membuka diri terhadap hasil-hasil studi yang mendukung perkembangan NTT khususnya membangun kultur kemitraan dengan kalangan profesional, bukan sekadar menguliahkan ribuan penduduk NTT ber-NIP untuk menaikkan gaji pokok mereka serentak mematikan inovasi dan kreativitas di NTT. Pemerintah perlu jeli menggunakan indikator yang transparan dan profesional dalam mengejawantahkan kebijakan yang benar-benar merakyat.

Mengapa pemerintah NTT masih terbawa arus permainan Jakarta untuk tidak melegalkan misalnya perjudian yang resmi dan berkelas profesional di wilayah ini, sedangkan judi itu sendiri adalah salah satu entitas kultural yang ada dan hidup di dalam sekian banyak suku di NTT. Mengapa tidak pernah ada kajian tentang pengembangan perjudian? Sementara judi terus dihidupi secara ilegal di tengah masyarakat. Mengapa uang rakyat NTT dalam kupon-kupon putih harus terbang dan menggunung di gudang harta para bandar besar di Singapura?

NTT bisa menjadi proto-tipe negara kota dengan keterbukaan untuk mengenal potensi dan kearifan lokal daerah. NTT bisa menjadi contoh untuk Indonesia bukan terus-menerus mencontohi Jawa, dll dalam studi banding dan kunjungan kerja yang hanya menghabiskan anggaran. Sangat realistis kalau Timor menjadi negara ternak, Flores menjadi negara hasil bumi, eko-wisata dan lain sebagainya. Atau dalam konteks yang lebih kecil misalnya mengapa hanya ada satu 'lokalisasi' resmi yang miring konotasinya di Barat Kupang sana? Mungkinkah lokalisasi wisata, lokalisasi pertanian, peternakan, kelautan dibangun dengan keberanian pemerintah? Bukan tidak mungkin pusat judi resmi yang berkiblat pada rakyat kecil, miskin dan bersengsara sebagai owner resmi kepulauan NTT.

No comments: