Oleh: Monika N. Arundhati
Monika |
Ketika itu kau berkata padaku lewat sebuah pesan singkat:
“Jika aku adalah pagi, maka kau adalah mataharinya. “
“Dan jika aku adalah langit kelabu, kaulah pelanginya.” Aku membalasmu.
“Kau adalah puisi..” katamu lagi
“Dan kaulah diksi dan rima puisi itu..” lagi balasku.
“Ehemmh.. Bagaimana jika aku adalah sepanci air?” tanyaku.
“Jika kau sepanci air, maka akulah api yang menghantarkan panas kepada panci itu untuk mendidihkannya..”
“Apabila aku adalah setungku bara api yang ketika didekati pasti akan membakar orang yang mendekatinya, jadi apa kau? Dan apa yang akan kau perbuat terhadap api itu?" tanyaku sekali lagi.
“Jika kau adalah bara api yang dapat membuat terbakar saat didekati, maka aku akan menjadi penjaga bara api itu dan melarang orang-orang untuk tidak bermain-main dengannya, atau bahkan menyarankan mereka untuk menjauhinya. “
Menggenggam ponsel di tanganku, lama aku tak dapat mengucapkan satu katapun. Sebenarnya, betapa ingin kusampaikan padamu bahwa setungku bara api itu sesungguhnya telah padam. Dan penjaga api itu telah menghembuskan nafasnya untuk menyalakan kembali bara api itu.
Pada tempat yg gelap, walau hanya ada satu nyala api, itu sudah sangat berharga. Berhadapan dengan setungku api, teringat aku padamu.
Jogja, 15 Februari 2012
Untuk Cinta yang hilang, namun telah kembali.,
No comments:
Post a Comment