Oleh: Ermalindus Sonbay
Daerah di luar pulau Jawa merupakan anak kandung NKRI yang menjalani hari-hari hidupnya sebagai anak tiri. Stigma kemiskinan dan keterbelakangan Indonesia justeru menjadi jelas di wilayah-wilayah ini. NTT sebagai salah satu provinsi yang dikategorikan miskin dan terbelakang hingga kini belum juga mampu hadir sebagai bagian utuh dan integral dari NKRI. Bukan cuma problematika sosial yang kompleks, hal-hal miris lainnya seolah terus dibebankan pada provinsi dengan ikon komodo ini.
Pencemaran laut Timor yang merugikan nelayan-nelayan NTT seakan bukan merupakan soal penting. Padahal, luas pencemaran yang sudah melebihi separoh luas wilayah NTT ini membuat setengah dari nelayan NTT tidak bisa bekerja maksimal. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga lagi, NTT kian terseok sebagai salah satu provinsi yang tak diperhatikan. Setelah luas dan batas wilayah NKRI dikikis pasca-hilangnya gugusan pulau pasir (ashmore reef), urusan kepemilikan laut Timor oleh tiga negara, Australia-Indonesia-Timor Leste kian amburadul. Celah Timor hampir tidak memberi kontribusi sedikit pun bagi kemajuan dan perkembangan NTT serta Indonesia umumnya.
Konstelasi dan konfigurasi politik nasional tentunya melemahkan posisi NTT untuk berbicara banyak. Tidak ada wakil rakyat dari NTT yang benar-benar serius membahas dan melemparkan hal ini untuk menjadi isu nasional. Soal perbatasan seringkali menjadi hal kecil yang dilabuhkan abadi di meja-meja para diplomat. Toh, tidak ada putra NTT dalam dua periode kepemimpinan SBY-Boediono yang duduk sebagai menteri. Posisi tertinggi hanya di DPR. Melchias Mekeng dan Beny Harman. Keduanya juga cenderung hanya menjadi pion kontroversial yang dimainkan untuk kepentingan lain. Ada juga beberapa putra NTT yang menjadi duta di negara-negara kecil lainnya.
Pelemahan posisi NTT ini berimbas pada takluknya titik tawar NTT dan Indonesia terhadap dua negara, Australia dan Timor Leste. Timor Leste, sekalipun dalam beberapa hal cenderung lebih buruk dari NTT telah memiliki keluasan untuk mengatur kemerdekaannya sendiri. Penyerobotan dan pencurian bisa saja terus terjadi. Belum lagi, jika yang ditugaskan untuk mengamankan wilayah perbatasan justeru bermain mata dan terjebak dalam arus suap. Kegagalan diplomasi Indonesia di tingkat pusat akan berimbas pada masyarakat di daerah. Urusan dan mainan Jakarta di ranah diplomatik menjadikan Kupang kian ‘kering dan gersang’ hari demi hari.
Kegagalan ini sangat mungkin terjadi karena sebagai provinsi korban NTT berada di muara dua kerusakan besar bangsa ini yakni, pertama penerapan relasi mutual pusat-daerah dalam pembentukan good governance hanya di tataran formal saja dan, kedua relasi politik daerah ke pusat lewat keterwakilan di parlemen tidak memiliki visi perjuangan dan sangat tidak transparan. Namun, hal ini tidak mengisyaratkan posisi pemerintah Provinsi NTT berada di titik aman. Sekalipun hubungan Jakarta-Perth tidak bisa dipangkas pendek menjadi Kupang-Perth atau Kupang-Darwin (seturut kewenangan otonomi), Gubernur selaku pemimpin politik tertinggi di Provinsi harus meminta pertanggungjawaban tegas siapa yang bermain di balik kehancuran dan pencemaran laut Timor, serentak mengambil tindakan tegas.
Hanya dengan mengambil tindakan tegas antara lain meminta dukungan dan percepatan lobi diplomatik pemerintah pusat. Gubernur bisa menunjukkan kepada Indonesia bahwa NTT masih berada dalam lingkup demokrasi dan kebernegaraan dengan keutuhan NKRI. Jika gubernur diam dan terus bersatu dalam ‘diam abadi’ bersama elemen-elemen terkait, maka iklim demokrasi yang bebas dan memayungi bangsa ini hanyalah awan kelabu di langit Nusa Flobamorata. Gubernur perlu berteriak agar para diplomat yang merasa aman-aman saja di ruang diplomasi ngeh dan sadar bahwa sesuatu yang salah dan menyengsarakan begitu banyak rakyat NTT harus diperbaiki.
Atau mungkin teriakan pemimpin NTT tidak bisa disampaikan karena telah terhalang sedikit bantuan dana Australia pada grand design anggur merah. Bantuan Australia yang boleh jadi hanyalah penutup mata bagi para pemimpin NTT agar tidak bisa melihat laut Timor yang sudah tercemar. Salep kulit yang diberikan para penembak, tidak bisa mengeluarkan peluru dan menyembuhkan luka di tubuh korban. NTT tidak pantas menerima salep kulit saja dari luka menganga akibat pencurian wilayah dan hasil alam di NTT pun racun peluru PTTEP Australasia yang mematikan potensi laut Timor di blok Montara.
Sudah saatnya pemerintah tidak bermain aman untuk mengeruk keuntungan sendiri, namun harus memilih menguatkan posisi rakyat di level akar rumput dengan pembelaan yang cerdas dan benar. Ketika diplomasi mentok, hemat saya akan ada banyak sukarelawan NTT yang bisa mengusir dan menunjukkan dengan cara paling purba bagaimana mempertahankan dan membela hak rakyat kecil. Diplomasi yang cenderung berputar-putar bisa dipangkas dengan kekuatan lain yang ada pada rakyat. Dan lesakkan kekuatan random yang senantiasa arkais dan anarkis ini harus bisa diantisipasi pemerintah. Pemerintah NTT sepantasnya tidak berpikir terus bahwa rakyat NTT masih belum mengerti kompleksitas persoalan yang terjadi. Pemerintah yang elegan adalah pemerintah yang sadar akan kebutuhan dan posisi rakyat, serta bisa menyuarakan ke level yang lebih tinggi atau ke sisi lain yang mengakibatkan sebuah perbenturan terjadi, bukan pemerintah yang hanya bisa diam dan terus diam setelah sekian banyak bantuan datang.
Kegagalan diplomasi di level atas dan juga banalisme akibat intervensi dan pembunuhan kreativitas dan karakteristik pemerintahan lokal akan menjadikan NTT dari tahun ke tahun sebagai provinsi terdepan. Terdepan dalam peminggiran dan marjinalisasi. Terdepan dalam ketakberdayaan untuk melawan keterpurukan yang terjadi, pun mungkin terdepan dalam permainan para elite. Apakah benar orang NTT tidak bisa mendirikan rumah adat baru di Pulau Pasir, atau membakar sedikit minyak di kilang minyak PTTEP Australasia sebagai bagian dari penajaman karakter kearifan lokal NTT?
No comments:
Post a Comment