Feb 9, 2011

Kebenaran itu Relatif (Beda Kultur dan Agama)


Seorang teman saya mengatakan ini, “Masih ngerayain Imlek ya bro? Kenapa koq sekarang banyak penganut Kristiani pada bebas merayakan Imlek. Sebenarnya mereka selama sekian tahun ‘terpenjara’ dan tidak bisa merayakan Imlek ya? Saat Gus Dur mengakui dan menerima Kong Hu Cu, sebagian besar mereka menitikberatkan perayaan keagamaan pada tradisi Tiongkok.”

Saya tidak langsung mengajaknya berdialog atau berdiskusi bahkan berdebat soal ini. Saya Cuma bilang, apa yang diimani memang sebagian besar datang dan diambil dari unsur tradisi dan penyampaian lisan dan tertulis turun-temurun. Tapi itu tidak bisa menggantikan disposisi hati dan ketajaman nurani masing-masing pribadi yang khas untuk beriman. Iman mengandaikan adanya kebebasan dan kehendak kuat pribadi-pribadi untuk mengamini apa yang dilihat, didengar (bahkan yang diterima turun-temurun) untuk dipercaya. Dari etimologi bahasanya saja, kepercayaan (Iman) berorientasi pada pengakuan (Amin) akan sebuah ketentraman dan ketenangan bathin (Aman).



Saya mulai mendebat-i dia. Nah, tradisi tahun baru al-Masih, yang kemudian mewarnai penanggalan liturgis Gerejani dan kultur Barat pra-modern hingga kini bukan diwahyukan atau diajarkan Kristus. Kultur ini lebih tepat jika diidentifikasi sebagai sebuah proses adaptasi dalam sejarah Gereja. Bahkan kalau mau diselidiki lebih lanjut, belum tentu Kristus lahir tepat tanggal 25 Desember. Tradisi penyembahan Dewa Matahari yang tak terpisahkan dari masyarakat Yunani Kuno misalnya menjadi salah satu tradisi yang ‘dimasukkan’ entah secara diam-diam atau terang-terangan ke dalam sejarah dan kalender liturgis Gerejani. Sejarah dan tradisi itu sudah ada jauh sebelum Kristus datang.

Dan kebetulan tradisi itu lahir di dunia Barat yang secara geografis menjadi lahan penyebaran Injil tahun-tahun awal. Di dunia ini pula, para misionaris perdana mengupayakan sebuah penerimaan kabar gembira ini ke dalam lingkup masyarakat dengan menggunakan ‘tangan’ budaya dan kultur. Penyebaran Injil sendiri bukan tanpa tantangan dan tidak memakai pola (kalau tidak mau bilang trik) tersendiri. Kekaisaran Romawi kala kepemimpinan Nero bahkan secara terang-terangan menolak penyebaran agama Kristen bahkan berusaha memusuhi semua pengikut Kristus. Namun pada akhirnya lewat kekaisaran Romawi pula, ajaran Kristiani diterima dan Roma menjadi salah satu simbol kemegahan Kristiani.

Memakai sedikit gaya terbalik, saya memberikan sebuah pengandaian. Kalau Kristus yang lahir di tanah Yudea dan sering memberikan perumpamaan. Waktu itu harus lahir di Tiongkok. Apa yang terjadi. Pasti postur manusiawi yang Dia miliki sama seperti Bruce Lee, Jet Lee (kebetulan ini favorit saya dalam film-film Kung Fu). Pasti Yesus bermata sipit, pasti Yesus akan sukar berjambang dan anatomi fisiknya sangat dekat dengan nuansa oriental.

Dan jika kembali ke pertanyaanmu, Yesus sudah pasti lebih dekat dengan tradisi dan peninggalan turun-temurun manusia-manusia Tiongkok. Boleh jadi Yesus memiliki shio dan juga garis nasib sebagai orang Tiongkok. Dan mungkin saat ini kebanyakan orang Kristen akan turut merayakan tahun baru Imlek, Injil tidak ditarik dari kata Eu-Angelion, dan sudah pasti murid-muridNya akan menulis kabar gembira dalam bahasa Tiongkok yang rumit itu.

Nah, saya pada akhirnya menyerah kalau dialognya diarahkan kepada soal IMAN. Setiap orang memiliki cara dan kebebasannya menyampaikan dan berekspresi soal imannya. Tidak ada yang memaksa. Konsepsi kontekstual yang mesti dikedepankan. Kekhasan dan kearifan-kearifan lokal yang mesti diapresiasi. Sepakat dengan pimikir-pemikir kontemporer yang coba menghilangkan ‘pemaksaan’ dan represivitas individu dalam memaknai keberagaman. Kekhasan masing-masing hanya bernilai sebagai ‘SUMBANGAN’ bagi kolektivitas, bukan merupakan ‘BERHALA’ baru bagi perkembangan yang kritis dan kreatif dari semua.

“Hari gini, jangan pernah memaksakan sesuatu sebagai yang benar. Kalau kamu saja tidak mengetahui yang sebenarnya. Wittgenstein bilang, UNTUK SEGALA SESUATU YANG TIDAK BISA DIKATAKAN, SEBAIKNYA ANDA DIAM. Nah, bro (Sebelum dia mulai marah, hehehe) untuk saya sah-sah saja pemilik tradisi Tiongkok merayakan Imlek. Itu bagian dari sumbangan mereka untuk kolektivitas dan keberagaman yang indah.

Selamat merayakan tahun baru Imlek yang sisa beberapa hari lagi. Gong Xi Fat Coi.

Oleh: Ermalindo Albinus Joseph Sonbay
Tanah Jowo,
Ujung Akhir bulan Awal
Dua kosong satu satu

No comments: