Feb 9, 2011

Pak Presiden, Kami mau Bersekolah!!! (Jangan Sekolah di Indonesia!)

Oleh: Ermalindo Albinus Joseph Sonbay

“Sekolah di sini masih menjadi milik orang kaya. Rakyat kecil tidak bisa sekolah, bahkan program-program pemerintah mengenai sekolah gratis dan lain-lain hanya sebatas iklan di media saja bro. Lihat saja, kendala yang kami alami di sekolah non-formal untuk anak jalanan yang coba kami bangun. Semuanya mentok karena pemerintah bukan lagi tidak peduli, tapi menganggap anak-anak jalanan tidak ada lagi,” kata Henricus M W Prasetyo, pemilik studio Jong Java dalam kesempatan ngopi dan santai bareng di kediamannya di daerah Bendungan Sutami, Malang awal Februari tahun ini.

Henricus pernah mengalami lapar yang sesungguhnya sebagai anak jalanan. Hidup dari mengamen, bahkan pernah dipenjarakan karena aturan yang selalu diciptakan untuk orang miskin. Kisah hidupnya unik dan asyk. Seakan tanpa beban, ia sangat menikmati kehidupannya sebagai pemilik bagian dan kekayaan wong cilik. Ia pernah melawan aturan yang kaku dan arkais. Ia pindah berkuliah karena diwajibkan mengikuti mata kuliah yang memasung kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Ia menyelesaikan kuliahnya bahkan di beberapa tempat yang berbeda. Tapi, toh ia konsisten membuktikan bahwa ilmu pada dasarnya haruslah diabdikan bagi kemanusiaan.


Setelah mengalami pahit (bahkan mungkin manisnya) jalanan, Henricus memperoleh sebuah titik visi yang jauh berada di depannya. Kehadiran mimpi ini berbarengan dengan kehidupannya yang makin membaik dari sisi ekonomi. Ia tidak lagi mengamen, tapi mampu membeli alat-alat musik sendiri. Dari obrolannya di warung kopi ketika sedang mengamen, ia diberi kepercayaan mengelola sebuah tempat yang disulapnya menjadi studio musik, kamar pribadi dan juga serentak tempat kongkow.

Sebulan hampir tiga per empat penghasilannya dihibahkan ke rekan-rekannya yang masih luntang-lantung di jalanan dan sempat diasuh di sebuah pemondokan. Baginya uang dan harta yang harus ditimbun, bukan menjadi jaminan seorang manusia bisa dikatakan sukses. Yang bisa membentuk keberhasilan manusia dalam dimensi komunalnya adalah rasa tanggung jawab terhadap sesama dan juga saudara-saudaranya.

Obrolan kami makin asyk diiringi tembang-tembang Bob Marley and The Wailers. Oiya, studio Henri sering dipakai oleh anak-anak reggeae yang distigmakan kere dan akar rumput di negeri ini. Kehidupan dengan rasa syukur memperoleh makan sekali sehari dijalaninya bersama semua yang memiliki keberpihakan dan komitmen terhadap nasib anak-anak jalanan. Mereka mungkin tidak memiliki apa-apa, namun mereka memiliki pengalaman menghisap rokok bersama, minum kopi bersama dan tertawa bersama. Kekuatan dalam kebersamaan yang menjadikan hidup mereka harus dimajukan.

Saling Memanfaatkan: Bukan Dosa

Saat ini Henri tengah berusaha meraih gelar masternya di bidang manajemen pendidikan, Universitas Negeri Malang. Banyak orang memiliki tekad dan cita-cita yang muluk-muluk ketika berada di bangku kuliah, apalagi di level pasca sarjana. Namun, lain dengan Henri. Tujuannya kuliah adalah untuk memanfaatkan tenaga rekan-rekan bahkan anak bimbingannya kelak untuk anak jalanan.

“Aku kuliah S2 hanya untuk mau menjadi dosen bro. Kalau aku jadi dosen, sederhananya, aku bisa memanfaatkan tenaga anak-anak bimbinganku untuk mengajar teman-teman di jalanan secara gratis. Mahasiswa membutuhkan nilai dan juga pengalaman. Aku membutuhkan bantuan mereka untuk mengajar secara konsisten dan terstruktur. Selama ini di pemondokan, banyak sukarelawan yang mengajar, namun mereka tidak bisa lama dan ilmu anak-anak tidak maju-maju. Mereka cenderung mundur dan lemah kembali ketika para sukarelawan pergi begitu saja. Paling kurang manajemen yang rapi yang aku butuhkan dan untuk itu aku bersikeras mengambil S2 pendidikan untuk membantu mereka,” katanya.

Mimpi ini kelihatannya sudah mulai dekat dengan Henri. Teman-teman kuliahnya sudah menyampaikan minat dan tekad mereka untuk membantu Henri. Mereka siap mengajar anak-anak jalanan apa-adanya. Hanya dengan apa yang mereka miliki. Namun, tegas, konsisten dan penuh harapan semoga ada perubahan. Beberapa sudah mulai menyusun program dan materi yang akan disampaikan.

“Lebih lanjut, jika mereka kuat dengan materi yang diberikan dan sejalan dengan ‘amanah kurikulum’ yang penuh rekayasa di Indonesia, anak-anak ini akan kami lanjutkan untuk memperoleh hak mereka di sekolah formal. Sering kali kami dipersulit karena pihak sekolah selain alergi dengan posisi mereka sebagai anak jalanan, mereka juga menuntut administrasi yang jelas. Khan tidak logis. Anak-anak ini lahir di jalanan, mungkinkah mereka memiliki identitas seperti anak-anak dari keluarga-keluarga koruptor. Untuk sekolah di Indonesia jelas-jelas sudah mahal, sudah itu dipersulit lagi dengan akte kelahiran, surat ini, surat itu. Benar juga bro, kadang saya malu hidup di Indonesia,” tukasnya.

Kopi di cangkir yang kami serutup berlima hampir habis. Namun, mungkin mimpi Henri yang sederhana tidak berakhir di situ. Mimpi Henri untuk membuat sedikit perubahan yang berarti sukacita rakyat kecil serentak tamparan untuk pemerintah (boleh baca: orang-orang bego) tidak pernah mati. Mari menampar pemerintah kita agar terbangun dari mabuk duitnya dan mau memerhatikan yang telah lama dilupakan. Di ujung refleksi bersama kami, mulai teranyam sebuah cambuk yang akan selalu menyadarkan kami untuk konsisten berteriak, “Jangan Sekolah di Indonesia. Jangan jadi murid di Indonesia!”

Pisang Candi, Malang awal Februari 2011
Untuk teman-teman yang semakin dekat merengkuh mimpi

No comments: