Feb 28, 2011

Tak ada cela untuk Berbicara, Dengar dan Laksanakan (sebal terhadap pelayanan di KBRI Dili)

Hari yang lagi sial di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Dili, Timor Leste. Saya ingin menempuh perjalanan darat dari Dili – Atambua – Kupang. Sudah pasti saya membutuhkan visa Indonesia. Timor Leste telah terdaftar dalam 75 negara yang bisa memperoleh ‘visa upon arrivel’ di salah satu bandara international yang ada di Indonesia, tetapi tidak dengan perjalanan darat. Ada empat pintu masuk ke Indonesia dari Timor Leste melalui darat, distrik Bobonaro ada di Mota Ain menyebrang ke desa Silawan di daerah Tasi Feto Barat, distrik Covalima ada di Mota Masin menyeberang ke Besikama di daerah Belu Selatan dan dua (2) perbatasan lain  antara distrik Oecusse dan kabupaten Kefamenanu.
Untuk masuk ke Indonesia melalui perjalanan darat tidak ada fasilitas ‘visa upon arrival’ artinya harus mengajukan permohonan visa di Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di Palapacio , Dili, prosesnya tiga (3) hari kerja, formulirnya harus di isi dengan ballpoint tinta warna hitam, fotonya harus latar belakangnya berwarna merah, dan syarat lainnya, tentu ‘visa fee’nya berbeda sesuai yang telah ditentukan oleh Immigrasi indonesia; ‘visa upon arrival’ $25.00 baik untuk ‘transit’ maupun ‘visit’ 30 hari, sedangkan visa yang di dapat di KBRI harganya $45.00 untuk 30 hari juga.
Saya sudah begitu ‘familiar’ dengan prosedur untuk mendapatkan visa umum maupun visa dinas/diplomatik di KBRI Dili. Sudah tidak terhitung berapa banyak kali saya mengajukan permohonan visa umum dan diplomatik untuk staff dari beberapa badan internasional yang beroperasi di Timor Leste. Sudah pasti saya kenal dari saptam hingga staff di ‘visa section’ termasuk bertemu dengan ‘counselor’ beberapa kali.
Dari pengalaman beberapa tahun selalu rutin mengajukan permohonan visa di KBRI Dili, ada banyak kesan positif dalam catatan pribadi saya, tetapi hari ini, 28 Februari 2011, jam 11:10 waktu Timor Leste, saya berjumpa dengan staff baru di visa section, pertemuan kurang dari lima (5) menit ini yang memaksa saya untuk menoleh kembali sejarah panjang beberapa tahun ke belakang mengenai keluhan-keluhan masyarakt Timor Leste tentang mendapatkan visa Indonesia di KBRI Dili.
Mungkin terlalu berlebihan kalo saya menulis mengatasnamakan masyarakat Timor Leste, saya hanya ingin menceritakan kembali peristiwa hari ini. Setalah melalui procedures panjang; pendaftaran di pintu masuk, panggilan di pintu masuk, pemeriksaan document oleh staff di pintu masuk, menerima nomor antrian, hingga antri menunggu waktuku di visa section.
Nomorku dipanggil, saya pun tersenyum. Akhirnya waktuku tiba juga, saya bergegas menyerahkan dokumentku kepada petugas, di sana terlihat seorang pria wajah lama yang sudah saya kenal dan seorang wanita, wajah baru yang saya belum kenal. Saya menyerahkan dokumentku kepada staff pria, karena memang dia yang menerima document untuk mengecek lebih lanjut sesuai prosedur. Saya tidak menoleh kepada staff wanita yang lagi serius kerja di sebelah staff pria. Saya kembali duduk di bangku antrian, menanti proses lebih lanjut. 
Berselang beberapa menit, nama saya dipanggil oleh staff wanita itu. Saya pun bergegas berdiri dan menghampiri loket visa sambil tersenyum lebar. Senyuman saya tidak dibalas hehe, teorinya 90% orang apabila anda tersenyum padanya dia akan tersenyum balik kepada anda. Saya mengerti bahwa staff wanita ini mungkin termasuk yang 10%. “Empat puluh lima (45) dollar” katanya tegas dengan wajah seperti penuh masalah. Tanpa satu kata pun, saya sodorkan uang ‘visa fee’ padanya, berselang detik dia mengembalikan uang sisanya masih dengan wajah tak bersahabat.
Dengan sangat terpaksa saya mengutarakan permohonanku yang di luar prosedur ingin mendapatkan visa lebih awal beberapa jam saja. Saya mengerti benar prosedur mendapatkan visa adalah 3 hari kerja. Artinya saya baru akan mendapatkan visa 2 hari berikutnya di sore hari. Sementara saya telah merencanakan perjalanan pagi 2 hari berikutnya. Makanya saya mencoba untuk membicarakan dengan baik, dan saya menanyakan dengan sangat sopan “apa saya bisa mendapatkan di pagi hari, bu, karena saya berencana berangkat pagi.” Jawaban yang kudapat hanya sorotan mata kebencian “hari rabu sore baru bisa ambil, 3 hari kerja”  sangat kasar dengan nada suara seperti orang sedang bertengkar dibantu ayunan tangan hehehe, sial. Saya menatapnya seraya melemparkan satu senyuman berat, dan masih ingin menjelaskan alasan saya mengajukan permohonan itu, tetapi “kenapa? Tidak mau, mau dicancel ya?” nadanya tinggi, lebih kasar lagi seperti orang di jalanan yang tidak berpendidiakan dan siap berkelahi hahaha. Tentu saja saya sangat kecewa. Tidak masalah kalo permohonan aku ditolak, tetapi saya senang kalo dijelaskan secara manusiawi dengan tata krama adat sopan santun, apalagi ini KBRI yang nota bene adalah representasi diplomasi Indonesia, ko bisa ya ada staff seperti ini. Pantasan Indonesia kalah diplomasi international dalam hubungannya dengan masalah Timor Timur berapa tahun lalu, pikirku. Saya masih berdiri beberapa detik “kenapa” ditanya lagi dengan nada kasar sekali, saya pun menjawab seadanya “tidak sih, cuman.... “ saya tidak melanjutkan kalimat itu, dan  pergi tanpa pamit.
Apabila ada keperluan mendadak yang menuntut harus masuk ke atau singgah Indonesia untuk urusan resmi/diplomatik, ada kalanya di hari baik difasilitasi dengan sangat baik tetapi sudah banyak kali dipersulit dan saya harus berjumpa langsung dengan “counselor” atau harus telepon langsung ke ambassador-nya. Tetapi sejauh ini masih ada pembicaraan walau ada nada-nada menolak dari staff, tetapi hari ini bukan saja tidak dikasih kesempatan untuk bicara, nada bicaranya saja sudah seperti orang yang diliputi masalah, padahal dia seorang ibu yang mungkin juga seorang mama, atau mungkin dia sedang ada masalah dengan dirinya.
Saya membayangkan orang Indonesia yang santun di setiap tempat yang sempat disinggahi. Nada bicara dan bahasa tubuh yang sangat santun khas Indonesia, juga senyuman dan tatapan yang membuat orang sulit melupakan Indonesia. Tetapi hari ini, seorang wanita, yang adalah seorang Indonesia yang mungkin berpendidikan sangat tinggi, yang bekerja di KBRI Dili, mungkin juga dengan beragam dan berderetan pengalaman brilliant, menunjukkan kepadaku bahwa ternyata orang Indonesai juga tidak tahu adat sopan santun dalam bertutur kata, terlebih lagi di sebuah lembaga diplomasi seperti Kedutaan di negara orang.
Ya, hari ini tidak ada cela untuk bicara, dengarkan saja dan laksanakan. Wanita ini mungkin cocok datang di masa pendudukan Indonesia atas Timor Leste dengan mentalitas ABRI/TNI waktu itu. Bahwa segalanya adalah perintah ‘atasan’ termasuk melanggar Hak Asasi Manusia, sapu rata, semua harus dipatuhi. Bagi wanita ini manusia dilahirkan untuk peraturan dan  bukan peraturan dibuat untuk manusia.  Orang bisa konsisten, tegas mengimplementasikan peraturan tetapi bukan berarti kasar dan tidak bersopan santun.  Udah deh… yang jelas saya tidak bias mengubah wanita itu, toh dia mencari makan dan minum dengan bekerja di situ dan saya mengajukan permohonan visa untuk mencari makan dan minum di tempat lain… hanya saja kamu membuat aku kecewa sih hehe, tapi aku uda lega setelah menulis semua ini, walau tidak sistematis dengan rangkaian kalimat yang indah… piss ya.

Dili, 28 Februari 2011

No comments: