Berhala-Berhala Kontemporer
Oleh: Ermalindo Albinus Joseph Sonbay
Ketika Marx menyampaikan kritiknya kepada kelompok pemegang modal yang berupaya menjadi ‘tuan’ atas segala sesuatu, ia mengisi kantong serangnya dengan peluru logika. Kesenangan menimbun harta dengan terus menjadikan pekerja-pekerja teralienasi dari dirinya sendiri merupakan salah satu bentuk. Kesenangan ini kemudian dirayakan secara berlebihan dengan tidak menyertakan akal sehat. Perayaan dan pemujaan inilah yang disebut Fetisisme oleh Marx. Pesona kapital justeru memenjarakan kelas pemilik modal pada kultus a-kritis terhadap berhala-berhala yang tak memiliki dasar logis yang mereka bangun.
Marx kemudian membayangkan dengan pasti sebuah kehancuran otomatis kapitalisme di akhirnya sebagai akumulasi dari pelbagai kontroversi yang ditimbulkannya in se. Namun, kehancuran ini boleh dibilang mustahil hingga saat ini, karena kelas-kelas yang dibagi Marx dalam penguasaan produksi, kelompok marjinal dan borjuis justeru tak terpisahkan di ranah konsumsi. Akan tetapi, corak pemikiran Marx yang didasarkan pada penyembahan ‘berhala-berhala’ yang melemahkan akal manusiawi tetap menjadi peluru ampuh dalam memaknai euforia zaman yang tidak seimbang ini. Perkembangan teknologi yang didasarkan pada inovasi dan pengembangan akal budi justeru membelenggu manusia pada ketakberdayaan menemukan makna terdalam hidup.
Filsafat digusur pada titik terendah, di mana manusia tidak lagi terarah untuk mencari bagian terpenting hidupnya melainkan melulu berbaur dalam identitas massal, hilang di tengah khalayak konsumeris. Kelas pemilik modal yang batal mati dalam prediksi agung Marx, kemudian bersukacita dalam kekuasaan yang semakin hari semakin absolut. Kelas menengah ke bawah telah dibungkam dalam penguasaan membabi-buta teknologi.
Erupsi kemanusiaan ini juga menyentuh titik-titik juang manusia yang identik dengan budaya. Angin kencang dari Barat telah meruntuhkan kekhasan Timur yang terkenal dengan peninggian nilai-nilai kebersamaan. Gadget-gadget modern dalam pelbagai aplikasinya masuk dan menghancurkan tatanan sosio-kultural manusia-manusia yang memegang teguh adat hingga ke pelosok-pelosok.
Tidak terdengar lagi indahnya tur hamutu atau ‘mTok tabua di Timor, apalagi nilai luhur budaya khas semisal Hanimak di Selatan Belu. Padahal sesungguhnya postmodern memberi ruang yang cukup maksimal bagi ekspresi nilai yang khas yang sepantasnya diangkat dan dihargai. Semuanya tenggelam dalam buaian konstruksi peradaban ‘lain’ dalam layar-layar (smart) ponsel dan berbagai fiturnya.
Teknologi yang berintikan pemanusiaan manusia kini malah dengan entengnya dipakai sebagai wahana taktis untuk memperbudak manusia. Benar bahwa sahabat terdekat saat ini adalah mereka yang berada di seberang lautan dan dengan sendirinya mereka yang ada di samping adalah orang-orang asing dari negeri-negeri jauh.
Maraknya berbagai situs jejaring sosial seakan mempertegas bahwa yang harus disembah adalah aktivitas dunia maya yang memberi nilai lebih ketimbang rutinitas harian. Terang saja kantor pos akan kalah saing dengan penyebaran informasi dan dunia komunikasi lainnya yang menekankan kecepatan, sekalipun belum tentu ketepatan.
Lebih sadis, kultur komunal yang tercoreng seakan menjadi biasa saja ketika gemerlap ekspansi Barat menemukan titik lemah manusia Timur dalam pola komunikasi. Asas manfaat dalam penggunaan teknologi dilewati dengan begitu gampangnya oleh kehendak untuk menukar secara licik. Warisan budaya, kekayaan alam dan juga kolektivitas manusia Timur yang penuh semangat gotong-royong dirampas dengan gampangnya oleh kehadiran berbagai varian teknologi portable yang serba mini. Dengan kata lain, manusia Timur tetap akan terjajah, karena telah digiring sampai titik tak bisa balik (point of no return). Manusia Timur saat ini tidak bisa lagi hidup tanpa ponsel, berita gosip televisi, sinetron yang tak logis dan varian-variannya barang sehari saja.
Yang saya kritisi di sini bukan perkembangan teknologi yang merupakan hasil daya cipta manusia, melainkan cara manusia menanggapi dan mengapresiasi teknologi. Harapan yang dulu digantungkan pada tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama kayaknya harus dikoreksi dan direvitalisasi lagi. Lembu-lembu emas kontemporer kini dengan enaknya berdiri di pinggir-pinggir Biara, Gereja dan Masjid serta berbagai tempat ibadah lainnya. Bukan tidak mungkin lenguhannya kini sedang merasuki jiwa semua yang berada di dalamnya dalam posisi doa yang khusuk.
Nah, selamat menggunakan teknologi secara buta. Anda kini sedang dalam proses menyembah Tuhan yang lain, melakoni budaya yang lain dan anda bukan tidak mungkin telah menjadi orang lain yang bukan diri anda sendiri.
No comments:
Post a Comment