Oleh: Nuel Lelo Talok
Abad-abad berlalu. Jutaan bahkan miliaran manusia dan pelbagai makhluk lainnya, lahir, tumbuh, hidup, berkembang, kemudian mati di tanah ini. Musim kemarau, alam menjadi kering kerontang, hawa panas menyengat. Tiba musim hujan, semua tumbuh menghijau, hawa sejuk, alam menjadi asri, teduh, tenang, keceriaan dan kehangatan hati terpantul lewat senyuman polos nan bahagia, ketika musim panen jagung muda tiba. Toh kadang angin badai, dingin, gagal panen, banjir, longsor, gunung meletus, gempa, kebakaran, pembunuhan, perang saudara terjadi di pulau ini.
Ya, begitu banyak waktu, kejadian dan tak terhitunglah penghuni pulau ini. Begitu tidak bisa terekam semuanya. Namun, sebagai generasi muda Tanah Timor di masa sekarang dan di sini (hic at nunc), marilah kita mencoba menoleh ke belakang, mengolah batin sejenak dan berfikir secara matang di masa sekarang, demi menyongsong masa depan yang jauh lebih cerah bagi kita penghuni bumi Timor, demi kehormatan leluhur di masa lampau dan demi kesejahteraan anak cucu kita tercinta kelak.
Entahlah kapan dan siapa pertama kalinya menyebut pulau ini TIMOR!
Ya, begitu banyak waktu, kejadian dan tak terhitunglah penghuni pulau ini. Begitu tidak bisa terekam semuanya. Namun, sebagai generasi muda Tanah Timor di masa sekarang dan di sini (hic at nunc), marilah kita mencoba menoleh ke belakang, mengolah batin sejenak dan berfikir secara matang di masa sekarang, demi menyongsong masa depan yang jauh lebih cerah bagi kita penghuni bumi Timor, demi kehormatan leluhur di masa lampau dan demi kesejahteraan anak cucu kita tercinta kelak.
Entahlah kapan dan siapa pertama kalinya menyebut pulau ini TIMOR!
Istilah TIMOR barulah dikenal belakangan. Jauh sebelumnya, di kalangan masyarakat adat Pulau Timor dan sekitarnya, entah yang bersuku bangsa Tetun, Bunak, Kemak, Mambai, Makasai, Dawan, Helong, Rote, Sabu, Sumba, Alor, Manggarai, Ngada, Nagekeo, Ende-Lio, Sikka, Lamaholot, Larantuka, Key, Kisar, Ambon, bahkan Makassar, telah ada semacam istilah umum yang mengatakan kalau tanah ini bernama TIMUR (Silakan menganalisis beberapa ungkapan ini: Ti Mau, Naitimu, Karau Timur, Rae Timur, Pah Timul, Timuneno, Tiumlafu, Taetimu, Bara Dimu, Keytimu....) Apakah karena leluhur suku-suku tadi berasal dari Asia sebelumnya dan menyinggahi Malaka (Malaysia) sampai akhirnya menggunakan istilah dari Bahasa Melayu untuk mencari, menemukan dan mendiami pulau yang paling "timur"? Dan karena berhasilnya pencarian itu, maka sebagai kenangan abadi, mereka sepakat kalau nama pulau dengan total luas 32.500 km2 itu haruslah diberi nama TIMUR? Boleh jadi demikian adanya. Dan, kelak karena perubahan dialek atau ketika dipengaruhi logat kurang sempurna para pendatang Eropa, ditambah dengan mulai dikenalnya tulisan, sedikit berubah menjadi TIMOR?
Teringat masa kecilku, para tetua di pedalaman Tanah Timor, khususnya di Belu (yang mayoritas berbahasa Tetun) memperkenalkan diri sebagai EMA TIMUR, dan mereka menyebut tanah ini sebagai RAI TIMUR. Adat istiadat mereka dinamakan KNETER KTAEK HADAT RAI TIMUR.
Orang Timor menyapa pendatang dari jauh dengan sebutan: EMA MALAE. Yang dikategorikan sebagai EMA MALAE adalah para penduduk Indonesia bagian barat yakni Jawa, Sumatra, serta orang Indonesia bagian tengah utara yakni Kalimantan dan Sulawesi; sedangkan untuk orang Indonesia bagian tengah-selatan dan bagian timur, seperti Nusa Tenggara dan Maluku, tidak pernah disapa dengan istilah EMA MALAE, karena ada keyakinan dalam adat Pulau Timor bahwa masyarakat yang mendiami kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku adalah juga orang Timor.
Ema Malae, berkulit lebih terang, berambut lurus, bermata sipit, berhidung pesek (atau kelak termasuk tipe orang Eropa, alias bule, kulitnya kelewat putih, hidungnya kelewat mancung, rambutnya kelewat pirang). Sedangkan Ema Timur, berkulit sawo matang dan cenderung gelap, berambut ikal, atau cenderung keriting, berhidung agak mancung.
EMA MALAE kemudian dikonotasikan dengan orang Melayu, orang Malaka (Malaysia), orang Cina (MALAE SINA), kelak merupakan sebutan untuk orang Eropa berkulit putih (MALAE MUTIN).
Dalam Bahasa Tetun, pantun disebut AI-BABELEN. Berikut sepenggal syair berbahasa Tetun tentang TIMUR:
Naha Timur nian atu tula ba se? Beban (Rakyat Tanah) Timor hendak dipikulkan kepada siapa?
Tula ba se atu natiu bodik? Dipikulkan kepada siapa untuk menanggungnya?
Bele-bele ita hirak tula ba malu! Toh akhirnya kepada kita-kita jualah dipikulkan!
Naha Timur nian atu hatiu lisuk! Beban (Rakyat Tanah) Timor untuk ditanggung bersama!
Kata Timur menunjukkan kelemahan juga kekuatan.
Apa kelemahannya? Penduduk Timor, saat mengalami keterbatasan dalam dirinya menyangkut usaha, bisnis, masa depan, peran sertanya dalam cakupan masyarakat yang lebih luas dan majemuk, memasuki dunia yang kompetitif, dan sering kali mereka terhalang langkahnya ke depan, mereka dengan rendah hati mengakui keterbatasannya lantas berkata: ITA EMA TIMUR NIAN MORIS NUNEE DEI ONA, artinya "HIDUP KITA SEBAGAI ORANG TIMOR, YA CUKUP BEGINI ADANYA," bahwa kekuatan orang Timor hanya sebatas ini dan mungkin tidak lebih! Apakah itu berarti pula bahwa Ema Timur menjadi subordinasi (kelas kedua) di bawah Ema Malae? Mungkin juga benar. (Kalau benar, apa upaya-upaya logis yang harus kita tempuh untuk menjadi sejajar dengan mereka yang lain?)
Pemusik Tradisional Tetun di era 1990-an yakni Manek Babulu, menciptakan sebuah lagu dengan syair: ITA EMA TIMUR, TIMUR KULIT METAN, SOI LA TOO ROHAN, DADI ITA KETA LOKO-AN: KITA ORANG TIMOR, TIMOR KULIT HITAM, MENJADI KAYA, NAMUN HANYA SESAAT, LALU JATUH MISKIN LAGI, OLEH KARENA ITU, KITA JANGAN SOMBONG. Mungkin Manek Babulu benar!
NAMUN, pada saat yang sama, tatkala memberlakukan dan mewariskan tatanan nilai sosial kemasyarakatan yang harus dilestarikan oleh generasi-generasi baru, para tetua adat Timor dengan bangga mengatakan, bahwa nilai-nilai ini adalah abadi karenanya kita Orang Timur memang pantas menjunjung tinggi adat ketimuran kita; seolah-olah mereka mau mengatakan bahwa Orang Malae tidak memiliki adat-istiadat, hanya Orang Timorlah yang berbudaya.
Secara ekonomi, masyarakat Timor dikategorikan sebagai masyarakat sederhana, makan-minum seadanya. Mereka bekerja keras di bawah terik matahari di tanah yang kering, kurang subur dan kurang air. Kulit mereka yang mulus di masa kecil dan remajanya akan segera hangus terbakar matahari Tanah Timur, sehingga menjadi legam. Maklum, dari timurlah terbit matahari, dengan segala kehangatan dan juga sengatnya.
Orang Timor tidak kaya-raya, umumnya jarang punya mobil, mungkin di kebanyakan desa yang rata-ratanya berpenghuni lebih dari 500 kk, hanya ditemui satu-dua truk, dua-tiga mikrolet serta puluhan motor. Itu saja. Jarang ada mobil sedan di kampung-kampung. (Tak tahu kalau ekonomi membaik sepuluh tahun mendatang).
Namun yang mengharukan hati kita semua adalah: bahwa Orang Timor sangat rendah hati, lembut hati, murah hati, baik hati. Dari kemiskinannya mereka akan menyumbang berapa pun kepada sanak-saudaranya yang membutuhkan. Anda bisa merasakan pesta perkawinan, pesta Gereja, pesta rumah adat, upacara kematian, pesta kunjungan pejabat pemerintahan, pesta panen, pesta syukuran lainnya, wow, pada kesempatan itu semua orang HARUS MAKAN! Ribuan orang pun, harus dijamu semuanya. Tak peduli kalau pesta itu diadakan selama seminggu penuh.
Dan memang, dari Tanah Timor, datang hidangan yang lezat. Ada daging sapi dan kerbau (Karau Timur) yang lezat, ada anggur (tua) yang aduhai, ada nasi merah (Hare Bauk Morin) yang harum, ada sayuran segar, ada sambal yang nikmat.
Selama suatu pesta berlangsung, orang Timor suka berbagi banyak cerita penuh keakraban, musiknya meriah, pelbagai tarian rakyatnya memesona, orang bersukaria berdansa semalaman, tidak peduli jadi keringatan dipadu parfum toko yang menusuk hidung, pokoknya dansa sampai puas, besok pagi jam 6 baru bubar, tidur dari pagi sampai hampir sore, lalu pergi bantu tuan pesta bongkar tenda!
Darimana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali
Darimana datangnya cinta, dari mata turun ke hati!
Mata jernih orang Timur, cepat menggugah hati emasnya.
No comments:
Post a Comment