Dec 16, 2010

Pergulatan Evolusi dan Iman

Oleh: Bílio S.*

POLEMIK seputar ilmu pengetahuan atau sains dan agama rupanya telah banyak mewarnai berbagai literatur kontemporer. Diskursus ataupun silang-pendapat antara kedua disiplin itu memang cukup menarik dan merangsang sikap ilmiah serta kreativitas berpikir.

Akan tetapi, diskursus semacam itu justru menimbulkan persoalan. Bukan saja pada tingkat rasional-teoretis, tapi lebih cenderung pada masalah kehidupan praktis. Orang menjadi bingung dan menghadapi dilema krusial. Misalnya menyangkut eksistensi kehiduan manusia. Apakah manusia sungguh-sungguh diciptakan oleh Allah ataukah berasal dari kera berkat adanya evolusi fisik–biologis seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin?

Dalam rangka mengatasi persoalan dilematis tersebut, nampaknya cukup signifikan kalau teori evolusi dapat ditelaah untuk ditautkan dengan Doktrin Penciptaan sebagaimana diajarkan oleh agama-agama besar di dunia. Sorotan ini juga dianggap penting sebagai referensi bagi siapa saja yang mendalami studi biologi dan disiplin filsafat-teologi dalam upaya menemukan jalan-setapak (pathway) bagi kedua pokok kajian tersebut. Jadi, analisis ini pada intinya hendak meretas jalan rasional bagi Teori Evolusi dan Iman agar sungguh-sungguh intelligible.

Arus Teori Evolusi

Sudah lazim diketahui bahwa dalam ilmu pengetahuan alam, istilah ‘evolusi’ diartikan sebagai perkembangan berangsur-angsur dari benda yang sederhana menuju benda yang sempurna. Misalnya, dari tumbuh-tumbuhan menjadi binatang, dan dari binatang ke manusia.

Seorang sarjana Perancis, J.B. de Lamarc (1774-1829) adalah orang pertama yang menegaskan bahwa kehidupan berkembang dari tumbuh-tumbuhan menuju binatang, dan dari binatang menuju manusia. Namun pandangannya pada waktu itu belum mendapat banyak perhatian.

Pandangan yang lebih radikal tentang evolusi baru muncul dari seorang ahli zoologi berkebangsaan Inggris, Charles Darwin (1809-1882). Petualangan ilmiahnya dimulai dengan menelaah pengalaman dari pemeliharaan burung-burung merpati di Inggris. Ternyata, dengan cara pemeliharaan yang berencana dan tekun, mereka berhasil memperoleh burung merpati yang jenisnya amat berbeda dari jenis semula.

Darwin lalu berkesimpulan bahwa apa yang dapat dicapai oleh manusia dengan cara berencana, dapat pula dicapai oleh alam. Menurutnya, dalam perjuangan hidup (struggle of life), hanya hewan yang paling uletlah yang paling mampu menyesuaikan diri dengan keadaan iklim dan suasana sekitarnya. Jadi, mereka yang kuatlah yang berhasil mempertahankan kelangsungan hidupnya (survive) serta memiliki semacam fleksibilitas untuk berubah sedikit (secara biologis) jika iklim dan resiko hidup menuntut dan menantangnya.

Pada salah satu bagian dalam bukunya The Origin of Species, Charles Darwin mengatakan bahwa semua jenis binatang berasal dari satu sel purba. Selanjutnya dalam tahun 1871, ia menerbitkan buku kedua yang sungguh menghebohkan dunia, yaitu The Descent of Man (=Asal-Usul Manusia). Dalam buku tersebut, ia menerapkan teorinya dalam perkembangan binatang-binatang menuju manusia.

Pandangan Darwin tersebut lalu diperkuat dengan ditemukannya manusia Neanderthal dalam thn 1856. Penggalian kerangka ‘manusia’ dari tanah liat di lembah Neander, dekat Dusseldorf Jeman itu, dianggap oleh para penganut Darwin sebagai missin-link (mata rantai) antara manusia dan kera.

Lalu kerangka yang sama berupa sebuah tengkorak kepala yang mirip dengan kera maupun manusia ditemukan oleh Eugene Dubois di desa Trinil, Jawa Tengah. Spesies penemuan baru itu dinamakan Pithecantrophus Erectus (manusia kera yang berdiri tegak), yang kemudian dalam majalah-majalah ilmiah dipopulerkan sebagai nenek moyang kita.

Teori Darwin itu kemudian dipopulerkan oleh Ernst Heinrich Haeckel (1834-1919). Akan tetapi, berbeda dengan Darwain yang berpandangan bahwa sel-sel purba diciptakan oleh Tuhan, Haeckel menolak penciptaan sama sekali. Menurutnya, dunia ini kekal, tak ada permulaan. Dan hidup tercipta dengan sendirinya secara mekanis. Sama halnya dengan manusia. Atas pengaruh Haeckel, maka timbullah kebiasaan untuk memyamaratakan manusia dengan kera melalui ungkapan dangkal manusia berasal dari kera”.

Di samping kuatnya arus Teori Evolusi yang menggemparkan dunia dan sekaligus menjadi tantangan berat bagi pihak agama, Haeckel pun dengan sikap atheistis-nya telah membuka jalan bagi para penganut teori evolusi yang menentang Tuhan. Lebih-lebih dalam hal ini oleh aliran Marxisme dan Komunisme.

Menangapi teori evolusi, pihak agama mengalami semacam kekhawatiran. Alasannya karena pihak agama menerima dan meyakini Doktrin Penciptaan sebagai suatu kebenaran mutlak. Misalnya, untuk Agama Kristen (Katolik dan Protestan) dan Islam, keyakinan bahwa dunia dan manusia diciptakan langsung oleh Allah, termuat secara eksplisit dalam Kitab Suci maupun Al-Qur’an.

Lantaran penentangan dan sikap antipati dari pihak agama dalam ke-19 sedemikian gigihnya sehingga para penganut teori evolusi pada masa itu dicap menyebarkan ajaran atheisme. Hanya persoalannya, apakah sikap seperti itu dapat diterima dan masih bertahan untuk zaman ini?

Evolusi Melawan Iman?

Ketakutan dan kecemasan orang-orang religius tertentu terhadap Teori Evolusi, untuk sebagian dapat diterangkan dalam konteks bahwa tidak mudah untuk melepaskan diri dari beban sejarah. Ini terjadi karena sifat agresif pihak scientisme pada abad ke-19 terhadap Teologi, Wahyu, dan Filsafat. Mereka tidak mau dikuasai oleh suatu instansi rohani dan menolak penyusupan iman ke dalam bidangnya.

Untung saja, hasil penelitian yang cangih sekalipun sampai saat ini belum memberi kepastian bahwa nenek-moyang manusia adalah sejenis binatang yang disebut kera. Tentu saja pihak agama atau orang-orang religius merasa senang dan bangga. Karena sampai sejauh ini, hasil penelitian para ahli maupun penganut neo-Darwinisme masih bermuara pada tingkat hipotesis serta kemungkinan dan dugaan belaka.

Seperti dikatakan Prof. H. Enoch, bahwa Charles Darwin sendiri terpaksa mendukung teorinya dengan alasan-alasan dan dugaan-dugaan yang bersifat spekulatif karena pengetahuannya tentang fosil-fosil sangat terbatas dan hasil eksperimen tentang pembiakan juga tidak memadai. Dalam seluruh bukunya The Origin of Species ditemukan ucapan-ucapan seperti: “karena itu kita dapat menganggap”, “jadi mungkin”, “boleh diperkirakan”, dan sebagainya.

Barangkali sentilan J. Gilkey dalam The Creationists: A Theologian’s View mengikuti alur yang sama. Dikatakan, jikalau anda mengikuti arus evolusi, maka itu berarti bahwa anda sudah meninggalkan kepercayaan Kristen (Yahudi juga) akan penciptaan. Ada semacam resiko atau “ancaman” bagi pihak agama jika mereka menerima Teori Evolusi.

Hal tersebut bisa dimengerti dan persoalannya masih bersifat semu, karena Teori Evolusi belum membuahkan hasil atau kebenaran yang valid. Akan tetapi masalahnya akan lebih menggelitik dan mencengangkan bila pertanyaannya bertolak dari kebenaran Teori Evolusi itu sendiri (sebagai suatu pengandaian).

Seandainya suatu saat teori evolusi itu secara ilmiah berhasil dibukitkan kebenarannya, bahwa manusia sungguh berasal dari kera. Maka pertanyaannya, bagaimana gerangan iman pihak agama atau orang-orang religius bisa dipertanggungjawabkan?

Memang sepintas bisa dikatakan bahwa sangatlah mustahil dijawab secara logis-faktual sebuah pertanyaan yang bertolak dari pengandaian. Akan tetapi, apabila hal yang diandaikan itu benar dan diterima sebagai fakta dan kepastian, maka cara yang harus ditempuh adalah meretas jalan rasional bagi Evolusi dan Iman secara proporsional. Keduanya harus dijelaskan menurut lingkup kompetensinya masing-masing.

Karena itu, orang beragama sebenarannya tidak perlu merasa gelisah menghadapi arus teori evolusi. Tidak perlu mencari jawaban afirmatif atas problem sensitif: Apakah Teori Evolusi dapat menghancurkan Iman?

Harus diakui bahwa ‘Teori Evolusi’ adalah suatu gagasan ilmiah. Sedangkan “Penciptaan” termasuk bidang Filsafat dan Teologi. Jadi, masalah atau dilema “Evolusi atau Penciptaan” adalah masalah semu.

Lebih jauh, orang beragama hendaknya memiliki prinsip atau pegangan menghadapi arus teori evolusi ataupun sains dengan kemajuannya yang pesat. Orang beragama tidak perlu takut tentang kepercayaannya kepada Allah. Allah yang samalah yang menjadi Pencipta alam-semesta yang dipelajari dan diterangkan oleh sains; Pencipta roh manusia yang mengadakan penelitian; dan Pencipta Wahyu yang menjdai objek imannya.

Atas dasar itu, tidak mungkin ada pertentangan antara Iman dan Evolusi atau sains. Jika timbul pertentangan, maka pertentangan itu hanyalah bersifat semu dan sementara saja. Pertentangan itu datang dari sains sendiri apabila dia keluar dari bidangnya dan mengadakan pilihan filosofis dan religius yang bukan menjadi hak atau urusannya.

Di lain pihak, pertentangan macam itu bisa datang dari Iman apabila dia mengadakan suatu penelitian ilmiah tentang suatu hipotesis atau menggagas sebuah teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan, yang bukan merupakan kompetensinya. Apabila keduanya tetap tinggal pada bidangnya masing-masing, maka tidak akan muncul pertentangan, melainkan akan menjalin persahabatan dalam kesatupaduan yang different but not separated (berbeda tapi tak terpisahkan).

Sains mempunyai bidangnya tersendiri. Tujuannya ialah meneliti berbagai unsur yang membentuk dunia, menganalisis susunannya, serta menentukan hubungan-hubungan yang terdapat di antaranya. Ia mengolah hipotesis-hipotesis dan menyusun teori-teori untuk mempertanggungjawabkan fakta-fakta yang dikonstatasikannya.

Singkatnya, bidang atau urusan sains adalah alam semesta yang tercipta sebagaimana nampak. Sedangkan objeknya ialah keseluruhan fakta yang dapat dijangkau pancaindera, baik secara langsung maupun dengan perantaraan alat-alat.

Dalam penelitiannya, tak pernah ia diperhadapkan dengan Allah maupun jiwa. Ia tidak dapat memaklumkkan sesuatu perihal penciptaan alam semesta oleh Allah maupun tentang tujuan dunia. Dengan kata lain, sains tidak boleh melangar batas-bats waktu atau ruang, dan tidak boleh mengemukakan pendapat apapun mengenai kebenaran-kebenaran Iman.

Adalah Julian Huxley yang menyatakan dengan tegas untuk tidak percaya pada jiwa yang kekal, itu urusannya sendiri. Tetapi apabila dia mau mendasarkan pendapat itu atas sains yang menyatakan bahwa jiwa kekal adalah sebuah hipotesis yang ditolak oleh fakta-fakta yang dikonstatasikannya, itu adalah menarik dari sains sesuatu yang tak boleh dikatakannya.

Atau, bahwa seorang penganut paham Evolusi menyatakan dirinya Atheis, itu urusannya sendiri. Tetapi karena ia mendasarkan Atheismenya atas paham Evolusi, itu berarti melanggar batas-batas sains. Sains tidak mengingkari atau mengakui Allah. Ia tidak berbicara tentang soal itu, dan tidak berhak berbicara tentang itu.

Dari prinsip dasar di atas, orang beragama dapat melangkah ke tingkat aplikasi. Jika para ilmuwan biologi berhasil merealisasikan sintesis sebuah sel hidup, itu berarti tidak mengganggu atau menyusahkan Iman. Demikian halnya dengan arus Teori Evolusi. Karena yang mereka lakukan bukannya menciptakan kehidupan, tetapi mereka hanya mempersatukan dan menciptakan kondisi-kondisi yang memungkingkan timbulnya kehidupan.

Maka harus dikatakan di sini bahwa Iman tidak dirugikan apabila Sains menempatkan manusia pada puncak suatu Evolusi hewani. Penciptaan manusia secara langsung oleh Allah merupakan Kebenaran Iman. Dan hal ini tidak bisa digugat oleh pihak sains karena memang bukan urusannya.

Komplementaritas Evolusi dan Iman

Doktrin Penciptaan dan Teori Evolusi merupakan dua pendekatan terhadap dunia dengan cara yang berbeda. Penciptaan bisa disebut sebagai gagasan transendental. Sedangkan Evolusi meneliti kenyataan riil dunia ini, kenyataan seperti apa adanya.

Dokrin Penciptaan berbicara tentang sesuatu yang harus diandaikan sebagai sebab/pendasaran dari kenyataan riil yang ada itu. Jadi, gagasan Penciptaan adalah transendental terhadap kenyataan riil. Evolusi bisa diselediki dengan pancaindera, eksperimen, dan sebagainya. Sebaliknya penciptaan harus disimpulkan sebagai prinsip atau penyebab metafisik dan meta-empirik, yang baru memungkinkan evolusi.

Dokrin Penciptaan ingin menjelaskan asal dan alasan keberadaan ciptaan dari segi teologis. Alasan itu ialah kenyataannya bahwa Allah tidak pernah memberikan kemampuan kepada makhluk-makhluk untuk bergiat sendiri, dan Ia tidak menggantikan aktivitas mereka dengan KemahakuasaanNya.

Sama seperti Ia membiarkan suatu makhluk hidup individual berkembang dan bertumbuh seturut kemampuan dan tujuan yang sudah diberikan kepadanya. Begitu juga, ia bisa memakai tenaga-tenaga ciptaan untuk menghasilkan jenis-jenis baru di dalam dunia melalui evolusi.

Kendati demikian, perlu diingat bahwa sains atau Teori Evolusi rupanya telah berjasa membantu menempatkan Alkitab pada tingkat yang sebenarnya, yaitu tingkat signifikasi religius.

Dalam bingkai komplementaritas demikian, ilmuwan sekaliber Albert Einstein pernah berucap: “bidang ilmu dan agama bisa terpisah, tetapi antara keduanya terdapat hubungan timbal-balik atau ketergantungan (interdependensi)”. Agama bisa menetapkan tujuan, tetapi ia belajar ilmu cara-cara bagaimana mencapainya.

Selanjutnya, karena tujuan ilmu adalah mencari kebenaran, maka usaha ini hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang melimpah rasa kebenarannya. Rasa ini, menurut Einstein, terbit dari lingkaran agama. Tetapi rasa ini juga diiringi oleh kepercayaan bahwa ketentuan-ketentuan dalam alam ini ditangkap oleh akal (rasio). Inilah yang digambarkan oleh Einstein dengan ungkapan: Science without Religion is Lame; Religion without Science is Blind”. Artinya, ”Ilmu tanpa Agama adalah Pincang; dan Agama tanpa Ilmu adalah Buta.”

Sebagai catatan pelengkap, kiranya dapat dikutip gagasan St. Anselmus Canterbury dalam slogan: “Credo Ut Intelligam”, non “Intelligo Ut Credam”. Artinya, “Aku Percaya Supaya Bisa Mengerti”, bukan “Aku Mengerti Supaya Bisa Percaya”. Jadi, iman tentu saja bisa terganggu bila pengetahuan mendahului kepercayaan. Tidak sedikit peristiwa alam dan kejadian-kejadian supranatural yang berada di luar jangkauan rasional manusia, dan semua ini hanya bisa dijelaskan lewat disiplin filsafat-teologi.

Dalam kaitannya dengan asal-muasal kehidupan termasuk nenek-moyang manusia, kalau sampai teori evolusi belum berhasil membuktikan kebenaran rasional yang valid, maka mudah ditempatkan sebagai ‘Misteri Penciptaan’ yang kemudian dijadikan Doktrin-Iman untuk dipercayai dan diyakini. Meminjam gagasan filsuf Gabriel Marcel, Teori Evolusi (ilmu pengetahuan/sains) adalah sebentuk ‘Problem’, dan Iman adalah semacam ‘Misteri’. ‘Problem’ memang harus diselidiki, dianalisis, dan dikaji secara rasional; sementara ‘Misteri’ hanya bisa diselami, didalami, dan dihayati secara imani.

Pada titik inilah, persepsi “Aku Berpikir” atau ‘Cogito’ (versi René Descartes) dan “Aku Percaya” atau ‘Credo’ (versi St. Anselmus Canterbury), berada dalam rel yang berbeda tapi tetap saling melengkapi alias komplementer dalam diri manusia. Dalam spektrum komplementaritas demikian, niscaya bisa dirunut logika filsafat konstruksionisme ini: “Orang yang mengetahui apa yang dipercayainya, akan cenderung mempercayai apa yang diketahuinya” (=Ema Nebe Hatene Saída Mak Nia Fiar, Nia Sei Fiar Saída Mak Nia Hatene)...!!!*

♣♣♣

*)Bílio S., mantan-Frater, kini bekerja sebagai Program Officer di JICA Timor-Leste Office, Farol, Dili.

**)Tulisan ini telah diterbitkan secara bersambung di Harian Suara Timor Timur (STT), 19-21 Maret 1998; lalu direvisi dan diterbitkan lagi di Majalah “Spepal Vox” Seminário Maior São Pedro-São Paulo, Fatumeta, Dili, Edisi Maret 2008.

1 comment:

Paresma D'aquinho said...

Artigo ida ne'e mos interessante tebes. Halo hau sei hanoin wainhira hau hetan ataque ideia hosi hau nia amigo ateista sira iha Braga-Portugal. Sira dehan katak teoria evolusi, liu-liu Charles Darwin nian mak los do que teoria da criação. Ha'u fo ba sira atu descobre teoria Darwin nian kona-ba Lekirauk ne'e antes sai lekirauk ne'e nia mai hosi nebe, pois sira dehan mai hosi zat ida, entaun hau dehan tan Zat ne'e mai hosi nebe. Siara hatan deit katak mosu hosi be, balun dehan mosu hosi rai. Husu tuir2 to sira laiha tan resposta. Pois hau dehan tan katak Darwin nia teoria ne'e sai kleur ona, sedangkan ohin loron lekirauk barak mak moris iha ai-laran. Hetan ona evolução hosi lekirauk ruma sai ema k lae? Resposta laiha. Então, quer dizer que teoria evolusi ne'e la iha base legal ida nebe mak fortifica nia backround. Ok
Abraço ba ida nebe pemilk bloggue ne'e. Salam Kenal