Dec 10, 2010

Sisi Gelap Para Migran dan Perantau dalam Bingkai Perlawanan dan Cita-cita


Seminar sehari tentang Perdagangan manusia (human trafficking) dengan tema “Sisi Kelam para Migran dan Perantau dalam Bingkai Perlawanan dan cita-cita” diselenggarakan oleh Tim Relawanan Kemanusian (Truk F) di Hotel Permatasari Maumere. Kegiatan yang dibuka oleh Blasius Pedor (Asisten I Setda Sikka) ini menghadirkan empat narasumber yakni; Sr. Eustochia SspS (Koordinator Truk F Divisi Perempuan), Sri Nurherawati, SH ( Komnas Perempuan), dr. Yovita Mitak (Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda Provinsi NTT) dan Dr. John Prior, SVD (Teolog). Kegiatan ini juga dimoderatori oeh P. Dr. Otto Gusti, SVD.
Dalam presentaasi materi, keempat narasumber menyampaikan persepsi mereka tentang perdagangan manusia. Sr. Estokia mempertanyakan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Kami setiap hari mendengar pengaduan rakyat soal kekerasan yang terjadi. Dari waktu ke waktu, Maumere berubah roman baik dari sarana maupun pra-sarana. Maumere menjadi tempat asal, transit dan tujuan trafficking. Apakah benar kita merdeka? Sedangkan upaya pemerintah provinsi dalam pencegahan tindakan perdagangan manusia. Dalam presentasi ini, Yovita Mitak menggambarkan bahwa secara nasional, NTT termasuk sebagai daerah penyuplai TKI selain DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Menurutnya jumlah TKI/TKW dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pemerintah Provinsi sedang berjuang meningkatkan kapasitas para TKI agar memiliki pengetahuan dan skill sehingga memiliki bargaining position di negara tujuan kerja.
Sri Nurherawati, mengemukakan tentang berbagai permasalahan, mengapa dikatakan perdagangan manusia. Dari prosesnya human trafficking perlu dilihat dari relasi gender, kekerasan terhadap perempuan, konflik bersenjata, politisasi identitas, keinginan mayoritas dan kekerasan akibat konflik sumberdaya alam. Dia menegaskan bahwa penanganan korban perdagangan manusia dibutuhkan pelayanan terpadu dan sistem peradilan pidana terpadu yang mana terjadi koordinasi antar aparat penegak hukum. Lebih dari itu, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam produk hukum ini, kesepakatan korban diabaikan. Artinya bahwa apabila terindikasi adanya kesepakatan korban dan pelaku human trafficking dalam permasalahan itu diabaikan, tidak dilihat sebagai sesuatu yang meringankan hukuman. Dalam produk ini, juga adanya kepastian hukum.
Sedangka John Prior, yang pernah menjadi dosen STFK Ledalero dan beberapa universitas di Australia dan Canada memberikan sebuah refleksi Teologis atas human trafficking. Mengawali presentasi itu, John menuturkan bahwa “Dimanakah Allah dalam semau ini? Bahwa kehidupan manusia bagai dalam perantauan dan pengembaraan. Dalam perantauan umat Ibrani terjadi pembentukan iman umat, dimana mereka berharap pada apa yagn ditunjukkan Allah dan bersandar pada Allah. Dalam konteks sekarang, umat mengalami migrasi. Disana terjadi pertemuan antar umat yang berbeda-beda? Apakah kondisi itu bisa terjadi saling menerima sebagai saudara?
Dalam misi kerasulan hendaknya migrasi dilihat salah satu wacana yang mesti diwartakan gereja. Misi migrasi harus menjadi prioritasi di tengah memburuknya sistem kapitalis yang menjebak manusia dalam pertarungan kelompok dan lemah. Gereja harus mampu melihat dan berbenah diri untuk memperkuat posisi kaum marginal. Migrasi melepas orang dari sekat suku, agama, ras dan gender. John mengajak peserta forum untuk melihat bahwa apakah benar negara ini tengah membawa suah kehidupan yang membahagiakan. Lucunya, di negara yang kaya raya sumber daya alam, diberi kepada pihak asing sedangkan rakyatnya dibiarkan miskin, melarat dan rakyatnya pergi mencari kerja di negara lain. Potensi alamnya dibiarkan diisap oleh asing. Tak heran bilamaraknya investasi di sini.
Seusai presentasi ini, dibuka dialog peserta dengan para nara sumber. Dalam dialog itu ada seorang kapolsek di Sikka menyatakan bahwa “Saya tidak suka dengan orang yang kerjanya kritik melulu, apa yang dibuat bagi masyarakat”. Pernyataan ini kemudian membakar semangat para aktivis yang hadir dalam diskusi itu. Kondisi ini kemudian dijawab oleh Moderator, P. Dr. Otto Gusti, SVD dengan menyatakan bahwa Negara tanpa kritik adalah Otoriter. Dan tidak ada demokrasi tanpa kritikan. Di dalam negara demokrasi, kritik menjadi sarana penting dalam proses pengakhawalan terhadap pemerintahan agar tidak menjadi otoriter. Pernyataan moderator ini kemudian disambut riang oleh peserta.
Kegiatan ini berujung pada permintaan pengakuan gugus tugas yang hingga hari ini belum mendapat respons serius dari pemkab Sikka. Sehingga diharapkan pemkab melihat human trafficking sebagai permasalahan yang perlu mendapat keseriusan pemerintah apalagi Sikka ini menjadi tempat asal, transit dan daerah tujuan TKI. Dan ini perlu juga dipertegasi dalam sebuah produk hukum (perda).


By: Herry Naif
Manajer Program WALHI NTT

No comments: