Dec 22, 2010

Sang Rusa Terluka.....!

Oleh: Bilio S*
Saat pertama mengenalnya, hati kecilku kian bergolak. Tak tahu, kenapa tatapan matanya mendebarkan jantungku? Penampilannya begitu anggun. Pesona manjanya menawan hatiku. Senyumnya seolah merobek jantungku. Naluri keibuannya pun amat menonjol. Yeah..., saat itu perasaanku seperti di surga saja. Kucoba mengikuti perasaan hati ini agar bisa memberinya setetes cinta.

Waktu itu, cuaca di kota-asam memang cerah walau mendung-tebal terus bertengger di atas cakrawala. Kutatap matanya yang oval, tapi tak berani kuungkapkan niat-cintaku. Aku terus mengamati bibirnya yang halus-mungil. Wahhh, bibirnya begitu indah dan segar....! Nafasku pun turun-naik bagai orang mendaki gunung.

Kuingin mengenalnya lebih-jauh. Tapi gejolak batinku belum tenang. Sepertinya aku masih sulit memetik sekuntum mawar. Takutnya kalau mawar itu penuh-duri. Yeahh..., rasa takut dan malu terus berkecamuk di relung hatiku. Kendati begitu, aku masih bisa bersabar. Kucoba menenangkan kembali batinku lewat refleksi dan meditasi.

Pikirku dalam hati: “Itu mungkin karena aku tipe pria pemalu lantaran terus terkurung di “Penjara-Suci” selama sekian tahun. Dia tentu tahu kalau orang-asrama seperti aku sungguh polos dan punya kesetiaan tunggal. Tak kusangka, dia pun rupanya seorang anak Ascaba (Asrama Canossiana Balide). Dia bertandang ke Rentau karena sebuah kunjungan keluarga. Maklum..., dia pun bidadari kota-asam itu. Lantaran studi, dia hijrah ke Dili beberapa tahun yang lalu.

Yeah..., bagai punguk merindukan bulan; aku pun terus merindukan kehadirannya di sisiku. Nyaris aku tak bergeming. Studiku di asrama seakan terganggu oleh bayangannya. Aku terus melamun sekalipun belum kutanya apakah dia belum mencintai pendekar lain. Dalam benakku, mungkin dialah dara-jelita yang ingin kucintai. Pikirku, karena dia putri-asrama, maka cinta dan kesetiaannya pun tunggal adanya. Ini cocok dengan harapanku akan seorang dara-manis yang cintanya tidak bercabang.

Atau, mungkin dia pun mau menerima cintaku, karena aku anak-asrama yang masih serba polos dan lugu. Cinta, kesetiaan, dan kejujuranku tentu bisa dia andalkan untuk masa-depan. Apalagi sampai dia tahu kalau anak-asrama seperti aku selalu berwatak “LATADO” (=Laki-Laki Takut Dosa). Kalau seperti ini yang terjadi, maka lengkaplah kerinduan kami berdua. Tapi ini cuma lamunan belaka. Sialnya, dia waktu itu telah kembali ke Dili dan aku pun segera balik ke asrama.

Sesaat kemudian, pikiranku terganggu lagi. Batinku bergelimang sejuta-tanya. Apakah dia mau menerima cintaku yang masih suci? Bukankah dia merasa beruntung mencintai pria Latado seperti aku?

Mungkin dia senang melihat gairahku. Dia nampak anggun penuh pesona walau masih menyimpan misteri. Aku tidak menduga kalau dia begitu istimewa di hadapanku.

Agak lama kuamati wajahnya. Kadang aku jengkel, lalu tenang kembali. Aku tak habis mengerti. Kenapa dia tidak berani menatapku. Akhirnya baru kutahu kalau dia tipe cewek ABG yang baru pertama kali mencintaiku.

Aku begitu senang, karena matanya seperti menari-nari di kedua kelopaknya. Tatapannya seperti penuh irama. Sesekali dia melirikku, lalu tertunduk lagi. Dia mungkin mau mengatakan padaku: “Aku mencintaimu sehabis-habisnya!” Achh..., itu cuma dugaanku.

Kadang bisa dibenarkan. Buktinya, saat kutatap bibirnya, segera nampak seulas senyum yang malu-malu mengungkap rasa. Wahh...., aku seperti melonjak kegirangan. Tapi kutahan sukacitaku sore itu.

Tak lama kemudian, dia seperti mau mencubitku. Pikirku, mungkin dia mau sesuatu dariku. Entah kata-kata ataupun tindakan.

Tapi, aku tetap mengurung niat cintaku. Itu karena aku tipe pria pemalu. Nampaknya dia belum mengerti. Maunya akulah yang mesti memulai. Memang saat itu kami berdua diam-membisu.

Melihat sikapnya yang terus menanti-menunggu, naluri cintaku semakin panas saja. Akhirnya, kucoba memecahkan kesunyian, lalu berkata pelan: “Noi..., Hau Hadomi tebes Ó...!”

Apa yang terjadi? Rupanya aku jengkel karena dia belum memberi jawaban. Yang kulihat hanyalah pesona manjanya ditambah irama tubuhnya yang menggeliat-geliat. Lagipula, aku pun sial lalu menyalahkan diri sendiri. “Koq, namanya saja belum kuketahui, kenapa bisa kuungkapkan isi-hatiku?”, gumamku dalam hati.

Yeah...., aku mulai tenang kembali. Kuingat lagu “Senja di Batas Kota” Liquiça. Lalu kurasakan angin semilir yang menerpa pantai Kasait kala itu. Aku optimis saja. “Namanya tidak penting bagiku. Yang penting adalah Cintanya! Biarlah deru gelombang laut yang menyebut namanya sekaligus jadi saksi-bisu atas kisah-kasih kami berdua!”

Hati kecilku hanya menyebutnya “Dia”. Yeah...., Aku dan Dia saja. Atau, kalau ini kuungkapkan padanya, bisa jadi “Aku dan Kau suka Dancow........!”

Tapi aku tidak tega seperti itu. Karena Dia-lah si dambaan hati yang suatu saat pasti ‘manis’ seperti Dancow.

Saat itu kupikir dalam hati: “Mungkin Cita-citaku adalah Meraih Cintanya dan Memiliki Dirinya!” Aku tak mau pusing! Yang penting dia bisa menjawab kesendirianku!

Lamunanku senja itu membuat Dia semakin tenggelam dalam keraguan. “Kenapa kamu diam?”, tanya Dia pelan. Cuma pada saat yang sama aku pun mulai meragukan cintanya. Ini beralasan karena dia seperti mau pasrah saja padaku. Tanyaku dalam hati, “Keta nia Na’in iha ona karik?”

Pertanyaan itu rupanya cocok dengan sikapnya seusai kemesraan kami di pantai Kasait. Nampaknya, cintaku untuknya hanyalah sebuah kisah ‘Kasih Tak Sampai’. Pendampingnya telah dia satukan di kedalaman hatinya. Aku hanyalah selingan tak berguna baginya. Yeahhh...., Aku pasrah saja sekalipun selama beberapa bulan ini batinku serasa hancur bagai disambar petir.

Ohhh...., biarlah langit berduka bersamaku. Biarlah Dia bersanding dengan pendekar lain di kejauhan sana. Biarlah Senyummu adalah Tangisku. Biarlah Cintaku adalah Studiku, karena masa-depanku masih ‘perawan’.....!*

Sungguh....! Ternyata semua itu hanyalah mimpi belaka. Aku tersentak dan terbangun dari tidur setelah mendengar bunyi gemuruh dan keributan di luar rumahku. Rupanya jarum jam sudah menunjukkan pukul 06 pagi, dan fajar pun mulai menyingsing dari ufuk timur.

Pagi itu, pikiranku masih segar. Kucoba merenung kembali kisah-kasih yang sempat kurajut bersama Dia dalam mimpiku semalam. “Achhh, sialan! Dia itu siapa? Bukankah Dia adalah putri-jelita yang selama ini masih misterius bagiku?”, tanyaku dalam kebingungan.

Ohhh....., biarlah mimpiku malam itu bagai kisah-romantika yang senantiasa hadir dalam bayangan dan fantasi-indah setiap insan pemburu-cinta. Anggaplah mimpiku adalah matahari yang mampu mengubah malam jadi siang; dan sanggup menerjemahkan gelap jadi terang. Semoga setiap impian-romantis bagai embun penyegar-hati dalam guratan derita “Sang Rusa Terluka...!”

***

*)Bílio S., mantan-Frater, kini bekerja sebagai Program Officer di JICA Timor-Leste Office, Farol, Dili.

(Karya fiktif ini telah diterbitkan di Majalah TIMETimor No.6 Th.II/April 2007, hal 17-18)

1 comment:

Andestaful said...

Sebuah kisah cinta yg indah