Jan 26, 2011

Siapa Menindas Perempuan?

Bilio S*
Tentang manusia, beragam pertanyaan terus bergulir. Filsafat manusia terus melacak jawaban definitif atas problem eksistensial ini. Apakah manusia? Siapakah manusia itu? Dua soal ini bak mata-rantai yang tak-terpisahkan lantaran tersangkut esensi dan eksistensi manusia yang juga bersinggungan dengan identitasnya. Per definitionem, manusia versi Aristoteles adalah ens rationale yang dari segi tertentu diidentifikasi sebagai makhluk biseksual dalam disparitas pengelaminan lelaki-perempuan.


Disparitas jenis kelamin ini memilah lelaki-perempuan dalam esensi kemanusiaan yang utuh, otonom dan bebas dalam artian filosofis yang memang benar, logis serta tak jadi soal dalam ideal in mente dan serentak menjadi begitu signifikan lantaran sisi egalitarian alias kesetaraannya. Cuma yang dipersoalkan adalah otonomi dan kebebasan yang diaktualisasikan dalam praxis in concreto justru tak lagi ideal lantaran tersangkut bias kesetaraan sebagai manusia dengan diunggulkannya kejantanan sebagai jenis kelamin tunggal.

Diferensiasi seksual tidak sekedar ada untuk disepadankan dalam keutuhan manusia, tapi justru ‘dibikin ada’ demi melanggengkan dikotomi lelaki-perempuan yang superior-inferior, subjek-objek, aktif-pasif dan semacamnya. Dikotomi ini dapat dipatok untuk menjernihkan pemahaman sekitar soal fundamental ini. Manusia berjenis kelamin manakah yang paling menderita dalam hidup ini?

Rupanya tak ada jawaban yang lebih realistis kalau perempuan adalah makhluk subordinat yang de facto selalu menjadi ‘korban’ di bawah dominasi dan superioritas lelaki plus jaringan sistem yang bernama patriarki. Jelasnya, perempuan dalam sejarah kemanusiaan senantiasa dianggap kaum tertindas sekalipun lelaki kerap mencari kambing-hitam kalau dirinya bukan penindas.

Pada titik ini, pertanyaan tentang “Siapa Menindas Perempuan?” hanya bisa dijawab kalau kedua jenis kelamin itu sekaligus ‘dituding’ sebagai biang-keroknya dengan mana lantas melahirkan jawaban segitiga. Lelaki Menindas Perempuan. Perempuan Menindas Perempuan. Atau Perempuan Menindas Lelaki.

Khusus dalam kasus violência doméstica, lelaki menindas perempuan terjadi saat superioritas lelaki atas nama kekuatan fisiknya dimainkan secara ‘naluriah-emosional’ lewat pemukulan, penganiayaan dan semacamnya yang kerap tidak mesti dilihat dari akibatnya saja. ‘Keadilan’ dalam valorisasi menjadi penting lantaran perempuan pun turut menciptakan sebab bagi tindakan lelaki sebagai akibatnya. Kalaulah lelaki (suami) misalnya seorang penyabar yang senantiasa memahami perilaku beringas perempuan (isteri), bukankah lelaki pun kerap tersiksa dan dengan demikian merupakan sebentuk ‘penindasan’ yang dilakukan oleh perempuan juga?

Tarikan logis macam ini bisa juga disangkutkan dengan kemustahilan tiada perempuan ‘menggilir’ lelaki plus penindasan perempuan atas pembantunya yang berjenis kelamin lelaki dalam rumah tangga. Masih sulit dikatakan bahwasanya perempuan itu sempurna dalam sikap dan tindakannya sekalipun akibat kriminal dalam kacamata hukum sering dianggap seksis dan tidak edukatif alias unfair bagi kedua jenis kelamin itu. Ranah domestik masih bisa dipatok buat menyingkap imposibilitas tindakan perempuan menindas sesamanya sendiri semacam penindasan atas pembantu rumah tangganya yang perempuan seperti dirinya dengan mana pelbagai kasus yang selalu dikedepankan cuma sebatas penindasan suami atas isteri dan tidak demikian isteri terhadap pembantu rumah tangganya.

Homogenitas penindasan dengan begitu tidak saja ekstrinsik tapi justru intrinsik juga. Kenapa demikian? Benarkah perempuan pun turut menindas dirinya sendiri? Kebenarannya hanya bisa dilacak kalau aktualisasi-diri perempuan dirajut lewat aneka citra natural dan artifisial yang diekspresikannya. Konteks penindasan atau yang serupa dengannya inter alia pelecehan dan perkosaan divalorisasi secara resiprokal dengan mana lelaki tidak mesti dituduhkan sebagai pendalang dan perempuan adalah korban. Afirmasi tudingan macam ini sesungguhnya hendak mengiyakan konsep subjek-objek yang acapkali lelakilah biang-keroknya.

Predikat ‘korban’ dapat disorot juga lewat citra artifisial perempuan atas nama life-style yang telah menjadi trend turunan zaman. Mematok pada hak dan kebebasan personal, perempuan de facto begitu gandrung mengais nilai progresif zaman yang diwarnai aneka accessories dan perangkat mode (fashion) semisal busana dan komponen pendukung lainnya. Lebih gamblang, busana tak bisa disangkal telah berubah fungsi dari melindungi tubuh ke simbol atraktif, ekspresif dan eksibisionis semisal rok-mini, blus-necis dan jeans-ketat perempuan yang imbasnya mustahil sepi dari rentetan pertanyaan kritis. Apakah rok-mini benar-benar berfungsi melindungi tubuh dari ganasnya alam? Benarkah rok-mini yang dikenakan perempuan mampu melindungi tubuh dari ganasnya mata lelaki?

Benang-merah mudah ditarik manakala status perempuan sebagai ‘korban’ tidak langsung disangkutkan dengan lelaki sebagai pelaku dan penindas, tapi karena mode (fashion) yang secara sukarela digandrunginya. Perempuan in hoc casu lebih dulu jadi “korban-mode” lantaran hasrat dan kehendak-bebasnya yang mesti juga dikatakan ‘menindas’ dirinya sendiri. Dengan demikian, lelaki tidak harus dituding sepihak untuk ditautkan dengan pertanyaan mendasar “Siapa Menindas Perempuan?”***      

*Penulis, Mantan Editor majalah LM dan Time Timor, Konsultan Gender,
  kini bekerja di JICA Timor-Leste Office, tinggal di Aimutin, Dili.

**)Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah Time Timor magazine, Dili, No.06 Th.II/April 2007, p. 26.

No comments: