Jan 30, 2011

Kami Bersaudara II - Secuil Kisah di Lalian Tolu

Oleh: Ermalindo Albinus Joseph Sonbay

Ermalindo Sonbay
Bersama Dubes Vatikan
untuk INA dan TLS
Cerita tentang cita-cita dan impian, lebih banyak akan menyimpang di perempatan, perlimaan atau mungkin pertigaan kehidupan pasti yang selalu tak pasti. Namun, yang akan mendorong manusia maju, bukan hasil akhir dari impian, namun motivasi yang ada dalam impian yang sempat mampir di benak. Kekuatan inilah yang menjadikan proses menjadi manusia enak untuk dinikmati. Dalam proses ini pula aturan-aturan khas pribadi tertentu terbentuk (rule making) setelah kemapanan dan kenyamanan generasi terdahulu hancur (rule breaking).

Paling kurang pada konsepsi ini Mao Tse Tung benar bahwa keterlibatan dan historisitas manusia akan berujung pada konsistensi membarui bahkan ber-revolusi. Jambu menurut para tetua enak dan nikmat. Dan yang ada dalam diri hanyalah keinginan untuk mencoba. Jambu dinikmati dan rasanya enak. Pada saat yang sama, pada saat rasa nikmat itu mengelilingi indra dan pesannya sampai ke akal budi, jambu itu bukan lagi jambu. Jambu itu sudah menjadi jambu yang berubah, jambu yang tidak utuh. Tapi perubahan (tentunya yang berorientasi positif) yang berwarna konstuktif akan meninggalkan bekas yang tentunya menjadi tese baru bagi generasi mendatang untuk direvisi, dinegasi bahkan dilawan secara langsung.


Alumni Seminari Lalian Angkatan 47
Persahabatan yang terjaling 4 thn
menjadikan kami sebagai saudara
Saat itu kami berada di tingkat terakhir Seminari Lalian. Tempat yang agak seram di pinggiran hutan Lalian Tolu, dengan tiga tungku alam tempat masyarakat sekitar dulu menyampaikan sesembahan seturut kepercayaan mereka. Hmm, tempat inilah yang membantu kami membangun jati diri awali, cita-cita dan harapan pasti mengenai masa depan kami yang tak pasti. Di antara semua itu, potensi-potensi diri kami juga digali hari demi hari.

Ada seorang saudara saya, Januario Bere Buti. Saya ingat baik nama ini karena setiap pekan harus membuat laporan OSIS, kebetulan waktu itu dia Ketua OSIS dan saya sekretarisnya. Namanya selalu saya ketik di setiap laporan kami. Kebetulan juga selama enam tahun kami menghabiskan waktu bersama sebagai calon imam (tentunya jaman itu sangat alim dan lugu). Empat tahun di Seminari dan dua tahun di Novisiat. Untuk yang belum tahu, kami harus merelakan satu tahun kami dalam pendidikan di jenjang SMU, karena aturan Seminari agak ketat dan membutuhkan seleksi yang juga berarti tahun persiapan. Selama di kelas persiapan, kami belajar beberapa mata pelajaran yang keren, hehe. Ada Bahasa Latin, Liturgi, Kitab Suci, dan beberapa lain lagi termasuk belajar (tak) langsung bahasa Tetum dan Marae dari teman-teman sendiri tentunya.

Inilah kamar tidur kami
sepintas tak layak buat byk orang
4 thn menikmati enaknya di sini
Arggghhh, ceritanya anjlok keluar rel lagi. Fokus, Ayo Fokus. Januario punya cerita dan kisah menarik. Pria asal Timor Leste (khususnya Distrik Maliana, lebih khusus lagi daerah Atabae) ini memiliki cita-cita menjadi Uskup. Mungkin kala itu terobsesi dengan sosok Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB yang sementara memimpin Dioses Dilli. Uskup itu pemimpin Gereja lokal Katolik tertinggi. Dalam tradisi dan ajaran Gereja Katolik, Uskup adalah tahbisan tertinggi. Tahbisan pertama adalah tahbisan Diakon, kedua adalah tahbisan Imam dan ketiga adalah tahbisan Uskup. Uskup memimpin keuskupan yang terdiri dari gereja-gereja lokal yang dikepalai oleh pastur-pastur baik yang berafiliasi dan menjadi anggota diosesan tersebut atau yang menjadi bagian dari konggregasi gerejani tertentu.

Sangking senangnya menjadi Uskup, banyak teman-teman selalu memanggilnya Bapak Uskup, hehehe. Ada cerita menarik lain lagi. Waktu kami masih kelas persiapan dia adalah siswa yang paling tinggi dan tegas. Namun ketika kelas III dan hendak menamatkan pendidikan di Seminari, dia menjadi yang paling kecil, hehehe (yang baca note ini jangan bilang ke dia ya!). Beberapa teman yang paling sering memanggilnya dengan gelaran tersebut misalnya Petrus Neno Kabosu, John Klau, Conterius Pakaenoni, Jasintus Eko, Feliks Yosep Riwu, Romo Inosensius Nahak, Pr, Romo Agustinus Seran, Pr, Romo Ignasius Kabosu, Pr, Frater Frengki Nggesu, SVD, Frater Falentinus Tnesi, SVD dan beberapa lain lagi.

Kapela kebanggaan kami
menjadikan kami dekat satu sama lain
bersama dekat dengan Tuhan
Pria yang kini sedang berada di Afrika Timur dan baru saja merayakan ulang tahunnya kemarin ini memang memiliki banyak keunggulan. Senang belajar dan mencoba hal-hal baru yang bermanfaat. Sejak berpisah 2003 sesaat sebelum kami melanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi di Flores, saya belum pernah bertemu lagi dengan Januario dan beberapa teman Seminari Lalian saya. Entah di mana mereka kini dan bagaimana cerita mereka tentang impian, harapan dan cita-cita mereka. Yang saya tahu, saat ini, seperti apapun rupa mereka, kami pernah bersama ‘bapak uskup’ Jano menenun hari-hari kami di padang datar Lalian belasan tahun silam. Selamat bertugas di mana saja teman-teman! Dia yang sudah menciptakan kita semua dengan cita-cita dan harapan, tidak pernah meninggalkan kita. Mata-Nya selalu terbuka memandang dan menuntun kita semua, bahkan berkedip pun tidak.
Jano bersama teman-teman sekarir
di Meti Aut Beach - Dili, Timor Leste

No comments: