Jan 11, 2011

Mengintip Kewanitaan Wanita


Bilio S*
Program Officer, JICA TL Office


Ada asumsi bahwa kata “Wanita” berasal dari bahasa Tamil (India) yang padanannya merujuk pada kaum reproduktif, prokreatif atau(lebih vulgar/kasar) searti dengan ‘tukang-melahirkan’. Lalu term itu bersumber lagi pada kosakata bahasa Sansekerta “Vanita”, artinya ‘yang diinginkan (oleh kaum pria)’. Konsepsi selanjutnya dihubungkan lagi dengan kosakata bahasa Inggris ‘vanity’(Latin: vanitas) yang berarti kesombongan, keangkuhan, kesia-siaan(cfr. Budiman, 1999:93-94). Walau asosiasi maknanya terlalu jauh, tapi konsepsi ini sengaja dikedepankan untuk menemukan makna hakiki dalam membedakannya dari kata “Perempuan”.
Sementara kata “Perempuan” sendiri merupakan kombinasi dari kata “Empu/Puan” dalam bahasa Melayu/Sansekerta. Artinya, “yang dipertuan, yang mulia/agung, yang dihargai”. Nuansanya bisa disimak dari berbagai pidato atau sambutan resmi yang sering diawali dengan sapaan halus “Ladies and Gentlemen(Puan-puan dan Tuan-tuan).”
Kalau dicermati, pemakaian term “Perempuan” ternyata lebih halus ketimbang kata “Wanita”. Tapi karena adanya pergeseran makna peyoratif dan amelioratif dalam bahasa Indonesia, maka kebiasaan pemakaiannya berubah nuansa dari yang kasar menjadi halus dan sebaliknya. Dulu, sebelum tahun 1980-an, kata “Perempuan” selalu dipakai dalam pergaulan ataupun literatur-literatur ilmiah ketimbang term “Wanita”. Tapi dalam periode sesudahnya bahkan hingga detik ini, pemakaian kata “Wanita” justru dianggap lebih keren dan afdol.
Konteks pemakaiaannya bisa juga tergantung pada tingkat pemahaman dan pengetahuan seseorang. Contoh sederhana, di Timor-Leste muncul nama NGO yang cukup-tepat yaitu FOKUPERS (Forum Komunikasi Perempuan Lorosae), bukan FOKUWARS (Forum Komunikasi Wanita Lorosae). Bisa saja, ini mencerminkan level kesadaran serta pemahaman yang lumayan-bagus dari kaum hawa di bumi Lorosae.
Akan tetapi, kalau Judul tulisan di atas cenderung memakai term “Wanita”, tentu ada beberapa hal yang mesti disoroti karena bermasalah. Actus “Mengintip” harus diartikan sebagai sebuah penjelajahan psiko-sosial untuk membingkai realita-kontekstual lewat tanjakan-logis menuju sebentuk problem-solving yang komprehensif, intelligible dan kontekstual. Sementara itu, konsepsi “Kewanitaan Wanita” mengarah pada beberapa figura feminin-artifisial dalam citra perempuan yang sensual, seksual dan kontekstual.
Di sini muncul dua dilema. Dilema pertama, masalah hubungan antara hak personal dan konteks sosio-kultural. Kedua, fenomen natural tampil dalam kemasan artifisial lewat paradigma maskulinistik dengan dunia mode(fashion) sebagai contoh paling aktual. Keduanya disangkutkan dengan pemaknaan wanita yang dalam konteksnya hendak ‘diintip’ lewat analisis ini.

Merambah Konteks

Ketika filsuf Perancis, Jacques Ellul, merangkai gagasan-konseptual tentang “how to think globally and act locally”, rona perubahan pun segera mendapat tempat unik dalam ruang komunitas mondial. Pelbagai kalangan merasa perlu melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi menuju suasana hidup yang lebih ngetrend dan njamani. Khusus di tingkat kawula muda, gagasan ini cukup laris entah dalam agenda refleksi maupun kerangka implementasi. Gejala ini bisa diterima karena perubahan selalu mengandaikan dinamika hidup yang terpancar lewat sikap hidup yang lebih modis seiring dengan arus modernisasi.
Transisi gaya-hidup ini dapat dirunut lewat pergeseran traditional and natural values menuju nilai baru yang dikemas secara ‘fiktif’. Sikap tradisional berubah menjadi gaya-hidup yang lebih modis, modern dan fashionable. Atau, aspek natural lalu tampil dalam citra artifisial dan ditunjang lewat berbagai accessories seperti busana, perangkat kosmetik serta komponen-pendukung lainnya. Termasuk sarana komunikasi(seperti bahasa dan media massa) sebagai respon-awal yang begitu mempengaruhi sikap dan gaya-hidup masyarakat, terutama kawula muda.
Munculnya berbagai istilah seperti “gebyar, glamour, sensasi, sexy, mejeng, ngeceng, disko, dan hura-hura” dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan manusia modern, yang untuk para remaja dan kaum muda biasanya dicantelkan pada istilah “ABG(=Anak Baru Gede)”, Cowok-Macho, Cewek-Kece dan/atau material-girl. Contoh aktual lainnya adalah sosialisasi berbagai kosakata-romantis lewat RTK-Dili dalam acara “Semilir Angin Malam” tahun lalu maupun dalam agenda pergaulan kaum muda Timor Leste.
Hampir selalu tenar istilah-istilah seperti “Partai Cinta Sejati (PCS), Fadola (Faluk Doben Laek), Patela (Planu Teki Lahetan), Mantap (Manis/Manas Tetap), 3M (Manis-Manis Manja), SEKWILDA (Sekitar Wilayah Dada), LATADO (Laki-Laki Takut Dosa), SELINGKUH (Selingan Indah Keluarga Utuh), SETIA (Selingkuh Tiada Akhir), Adidas, Spotec, dll. Hampir pasti bahwa kosakata demikian turut merangsang sikap dan penampilan-romantis yang juga diasosiasikan dengan keharusan untuk “Tampil Prima”.


Korban Mode

Dalam hal ini, aneka busana dan perangkat kosmetik menjadi sumber-laris, entah di ‘pasar-jual’ maupun ‘pasar-kompetisi’. Dapat dikatakan bahwa keduanya secara langsung menjelaskan tiga aspek lain, yakni dimensi fungsional, simbolik dan identitas. Dalam penjelasan ini, kaum hawa mendapat tempat yang ‘sangat unik’.
Gamblangnya, busana/pakaian yang sebelumnya berfungsi melindungi tubuh dari ganasnya alam, ternyata telah ditransformir ke fungsi ekspresif dan eksibisionis. Misalnya, untuk busana seperti rok-mini, rupanya dapat dipersoalkan secara logis. Apakah rok-mini benar-benar berfungsi melindungi tubuh dari ganasnya alam? Benarkah rok-mini yang dikenakan perempuan, mampu melindungi tubuh dari ganas-nya mata lelaki?
Kesimpulan alternatif bisa muncul kalau jawabannya cocok dengan kenyataan bahwa masih banyak orang yang nekad memakai rok-mini untuk tujuan ekspresif, atraktif, dan eksibisionis. Masih mendingan kalau tujuan itu kembali pada diri sendiri demi keindahan tubuh an sich. Masih lumayan juga kalau polesan make-up atau kosmetik dianggap hanya sebagai simbol subjektif dan body-copy semata untuk mempertegas identitas-diri tanpa maksud tawar-menawar. Sekali lagi, masih mendingan kalau hanya sebatas itu. Karena masih sulit dipungkiri bahwa untuk situasi ‘normal’, body-copy yang sensual dan atraktif lebih banyak menjadi sebab terjadinya kasus pelecehan.
Kalau dilakukan studi kasus yang teliti, dapat disimpulkan bahwa pelecehan itu berawal dari sikap-subjek yang nekad merelakan diri untuk jadi ‘korban-mode’. Situasi intern inilah yang biasanya memungkinkan ‘tanggapan-balik’ yang begitu cepat dari pihak luar (baca: lelaki). Benar bahwa penalaran ini bisa diragukan karena sebagai manusia normal, ketertarikan itu dianggap sudah dari sono-nya begitu. Apalagi terdapat dua unsur natural-magnetic di diri keduanya (cfr. Perempuan = animo; Pria = anima) yang memang berbeda tapi selalu saling-membutuhkan.
Akan tetapi, kebenaran dalam konteks tersebut masih harus dipersoalkan. Alasannya, maskulinisasi perempuan nampak tidak sebatas memikat dan menarik perhatian lawan jenis. Gejala seperti ini bisa jadi menegaskan juga adanya hasrat untuk memperjuangkan kesetaraan dengan cara berbusana yang seolah berupaya ‘memfemininkan’ lelaki. Memang masuk akal dan bisa diterima secara sosial saat kebanyakan perempuan lebih suka mengenakan celana-panjang milik pria ketimbang sebaliknya. Secara sosial, itu memang lumrah, walau secara higienis tidak memungkinkan adanya ventilasi-udara menuju ‘Ruang-Khusus’.
Tapi yang jelas secara etis di mana efek maskulinisasi itu bisa disoroti secara negatif oleh kelompok masyarakat dalam budaya tertentu(patriarkis?), pemakaiannya menjadi tidak relevan. Juga dalam refleksi tertentu, tampilan maskulinis macam itu, disadari atau tidak, bisa memberi peluang valorisasi perihal reaksi-protes atas superioritas lelaki yang selalu dominan lantaran sikap feminin selama ini sangat tabu untuk lelaki, bahkan tidak dibiasakan oleh lingkungan karena dianggap menyalahi ‘kodrat’ kelelakiannya.
Sesungguhnya sensualitas perempuan, termasuk sikap-sikap feminin yang dimilikinya(seperti asah, asih dan asuh) bila ditelaah lebih seksama, hanyalah vehicle of meaning atau sebagai tanda menuju esensi yang menandakannya. Sebagai tanda, body-copy yang ditampilkan sudah menjelaskan aspek kesakralan atau misteri di baliknya.
Kalau muncul pengetahuan dan kesadaran sehat atas esensi tersembunyi yang mesti dihargai, maka jawaban atas apa yang diinginkan perempuan lewat beragam sikap artifisial itu tidak perlu diungkapkan secara teoretis dan bertele-tele. Dan fakta bahwa perempuan menginginkan perhatian, kasih-sayang, minat seksual serta kemesraan bersama lelaki, seperti digagas tokoh feminis Naomi Wolff, tak perlu diragukan lagi.


Jebakan Kecantikan

Dengan kata lain, hasrat seksualitas yang ditonjolkan lewat tanda-tanda romantis dan sensual itu hendak menjelaskan bahwa perempuan memang unik dalam mengaktualisasikan dirinya. Cuma menariknya, aktualisasi-diri itu justru ditunjukkan oleh kenyataan bahwa jutaan perempuan di seluruh dunia sampai saat ini terus memburu kecantikan. Pertanyaannya adalah: untuk apa? Untuk siapa? Untuk dilihat, dipertontonkan, dinikmati? Oleh siapa? Menjadi milik siapa?
Pertanyaan tersebut sebenarnya berawal dari adanya ‘optimisme’ di kalangan perempuan untuk terus menikmati kebahagiaan lewat pemujaan beauty-culture agar tetap tampil seksi, cantik, menawan dan merangsang selera. Mereka cemas dan gelisah kalau kebahagiaan itu direnggut oleh alam. Jadi, optimisme perempuan sebenarnya dibangun untuk mengalahkan musuh alam (natural-enemy) yang paling berbahaya, yakni bertambahnya usia.
Hanya saja, upaya tersebut dalam kontekstualisasinya agak problematis karena sering ditanggapi secara sinis oleh kelompok masyarakat dalam budaya tertentu. Untuk masyarakat lokal Timor Leste, imbas beauty-culture dimaksud cukup kuat mempengaruhi sikap dan gaya-hidup modern. Bahkan pengaruh tersebut nampak lebih parah karena fungsi rasionalitas segera digeser dan digantikan oleh new life-style yang lebih mementingkan perasaan. Konkretnya, dimensi rasionalitas-ilmiah dan kualitas SDM perempuan pun akan labil bila terus dikuasai oleh corak-hidup yang sensual dan sentimental.
Soal dominasi aspek perasaan atas rasio yang inheren di diri perempuan kerap tidak disadari sebagai peluang untuk mengukuhkan superioritas lelaki. Tampilan rada acak lelaki umumnya mencerminkan dunia objektivitas di luar dirinya tanpa begitu saja manganggap tubuhnya sebagai titik-berangkat lantaran dimensi rasionalitas menjadi prioritas lewat kerja-otak demi mengupayakan perubahan di luar dirinya.
Entah lelaki atau perempuan masing-masing dikatakan unik lantaran adanya perbedaan bukan saja secara biologis tapi konsentrasi atau fokus perhatian yang serentak mewakili juga distingsi peran sosial yang dimainkan. Citra tubuh perempuan dalam kaitan ini senantiasa dipersoalkan lantaran telah diafirmasi juga oleh perempuan yang bermental ‘patriarki’.
Mentalitas patriarki ini kerap masuk-akal karena perempuan dalam upaya mendisiplinkan tubuhnya nampak tidak semata untuk dirinya lantaran kebahagiaan yang hendak diraih misalnya lewat ‘doing herself to be more beautiful sex’ alias upaya mempercantik diri mustahil ditujukan untuk dirinya dan sesama kaumnya saja dengan mana serentak disangkutkan juga dengan prosentase masih dominannya angka SDM lelaki yang darinya konklusi alternatif bisa ditarik bahwasanya perempuan lantaran dikuasai perasaan terjebak oleh kecantikan lahiriah bikinannya sendiri.
Entitas kecantikan yang kerap disimpulkan sebagai sumber kebahagiaan perempuan, memang cukup memprihatinkan dengan dalih perempuan sebenarnya tidak mesti menganggap kecantikan sebagai komoditas utama dan terutama sambil menyoal apakah perempuan menyadari ‘jebakan’ itu atau tidak.
Sosiolog Arief Budiman yang sekaligus dijuluki feminis laki-laki pertama di Indonesia, menggagas ide yang sangat menarik. Menurutnya, perempuan sejak masih bayi sudah dikondisikan untuk berusaha membuat dirinya cantik…, sejak lahir perempuan sudah dimasukkan ke jalur yang menuju ke arah jebakan kecantikan. Mereka diajarkan untuk meletakkan nilai kecantikan di atas segalanya. Hidup mereka tergantung pada kecantikannya. Kalau seorang perempuan gagal menjadikan dirinya cantik, maka dia akan mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya.
Lanjutnya, memang tidak ada salahnya menjadi cantik. Tapi, sampai pada saat ini yang dijadikan ukuran adalah kecantikan perempuan yang ditentukan oleh selera laki-laki dan perempuan hanya sekadar menyesuaikannya, maka dalam hal ini laki-laki bertindak sebagai konsumen, dan perempuan sebagai orang yang menjual. Perempuan menyesuaikan “dagangannya” sesuai dengan kemauan konsumennya.”
Dalam analisisnya, disebutkan dua macam wujud jebakan kecantikan yang seringkali tidak disadari oleh kaum perempuan. Pertama, menganggap kecantikan lahiriah sebagai sumber kebahagiaan, di mana sebenarnya ada kecantikan lain yang jauh lebih penting, yaitu kecantikan batiniah. Kedua, seringkali perempuan tidak sadar pula bahwa tuntutan kecantikan lahiriah mereka sebenarnya ditentukan oleh selera lelaki. Jika demikian halnya, kecantikan lahiriah seharusnya juga menjadi salah satu sasaran emansipasi kaum perempuan(Kompas 29/04/1995:4).

Pembagian Kerja dan Kesetaraan

Corak sentimental dengan pengukuhan ‘beauty-culture’ sebagaimana disentil Arief Budiman merupakan soal esensial ‘kewanitaan wanita’ yang dapat diasosiasikan juga dengan bangunan biologis tubuh perempuan yang lemah, lembut dan halus-gemulai. Pembagian kerja secara seksual pun dicirikan oleh kekhasan biologis macam ini sehingga peran sosial hasil konstruksi lingkungan yang selama ini diperdebatkan untuk ditautkan dengan apa yang disebut kesetaraan gender nampak dilematis dalam mana gamblangnya bisa juga disimak lewat sebuah bincang-santai di radio RTK-Dili beberapa hari lalu.
Inti siaran radio itu kira-kira demikian. Sang lelaki bertanya bagaimana persisnya kesetaraan hak lelaki-perempuan. Kontan si perempuan mengatakan: “Feto iha direito hanesan ho mane(=Perempuan punya hak yang setara dengan lelaki)”. Dengan gaya santai, sang lelaki pun segera nyambung: “Kalau begitu, bisakah Anda memanjat pohon mangga itu?” Langsung saja sang perempuan mengaduh: “Aiii...., mak lae duni, para halo mate hau deit!”
Selain pokok bincang-santai tersebut dihubungkan dengan rintihan-pilu perempuan lantaran tidak mampu secara fisik-biologis menyamai lelaki misalnya dalam hal memanjat pohon dan sejenisnya serta sang lelaki penanya dianggap memakai kacamata patriarkis, mesti diterima juga bahwasanya perempuan dengan daya-fisik macam itu cenderung mengakrabi kerja halus yang otomatis bermainlah aspek perasaan di dalamnya. Segmen psikologis yang mengafirmasi intensnya daya-fantasi perempuan, bisa menjadi alasan untuk mengamati beberapa ‘aktivitas’ keseharian perempuan yang darinya konteks lokal Timor Leste adalah yang paling dekat untuk diandaikan.  
Konteks yang diandaikan secara lebih spesifik disangkutkan misalnya dengan keseharian hidup para siswi, mahasiswi, aktivis dan perempuan karier lainnya. Bahwasanya, kalau di kalangan pelajar dan mahasiswi Timor Leste masih terus dilestarikan budaya-santai dengan memboroskan banyak waktu-luang untuk nongkrong di depan TV/VCD, ngerumpi, ngisi TTS, ngeluyur, membiarkan pikiran dikuasai berbagai fantasi dan khayalan romantis, serta terus membayangkan bagaimana bisa tampil lebih modis dan eksklusif demi gengsi dan ‘harga-diri’, maka kesimpulan tentang lemahnya analisis-kritis, telaah rasional-ilmiah dengan fokus yang lebih terarah dan mendetail, bisa menjadi hipotesis-awal.
Agaknya, dari sisi politik, tuntutan kesetaraan hak politik yang tidak seimbang dengan tingkat profesionalisme, mutu-intelektual, pengalaman serta kreativitas-ilmiah, juga menjadi kendala tersendiri bagi kaum perempuan Timor Leste. Tentu prosentase untuk mereka yang memenuhi syarat(eligible) pun bisa dihitung dengan jari. Dan proposal tahun lalu untuk memperoleh 30% kursi dalam pemerintahan nanti bakal linear dengan ‘aturan baru, gaya lama’ versi kaum patriarki.
            Tak bisa disangkal bahwa di negeri ini umumnya latar pembentukan kepribadian “Feto-Timor” sedari kecil diarahkan untuk memainkan peran-peran feminin-domestik seperti pengatur, pengelola dan pemelihara keluarga. Semasa gadis, mereka diajarkan bagaimana menganyam, menjahit dan menghidangkan menu-makanan secara profesional bagi keluarga, sekalipun pada saat yang sama akses atau prioritas pada sektor pendidikan dipersulit oleh sistem dan struktur keluarga yang dinilai patriarkis.
Dengan kata lain, kaum perempuan Timor Leste yang selama bertahun-tahun telah dibiasakan dengan beragam tugas dan peran domestik, kalaupun bisa memainkan peran ganda, bukanlah hal yang sama sekali baru. Di kota Dili misalnya dapat dilihat dengan jelas pada setiap acara serimonial, bagian konsumsi atau urusan dapur dan resepsi umumnya ditangani perempuan yang mana hendak dikatakan juga bahwa perempuan hanyalah bertugas melanjutkan dan/atau memindahkan peran domestik di rumah ke public-sphere.
Memang bisa dibenarkan bahwa tugas perempuan dalam kaitan ini dianggap kerap menggambarkan ‘kodrat’ dan eksistensi asalinya yang mana diperkuat lagi dengan apa yang disebut ‘pembagian kerja secara seksual’. Hanya saja, kalau konsentrasi yang berlebihan Cuma difokuskan pada kepuasan-batin akibat dihargainya sebuah hidangan-lezat tanpa diimbangi usaha bagaimana meraih kepuasan-intelektual yang setaraf dengan pria, maka perjuangan gender equality hanyalah sebuah formalitas tanpa makna.

Esensi Kewanitaan Wanita

Semua itu pada intinya merupakan gagasan alternatif untuk menemukan kesimpulan yang lebih relevan tentang peran dan kiprah kaum perempuan dalam konteks lokal Timor Leste saat ini. Pelecehan seksual dan perkosaan yang dilakukan kaum pria sebenarnya bersumber juga dari lemahnya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai oleh orang tua(khususnya perempuan yang berperan sebagai ibu) dalam diri putra-putrinya sejak awal. Warisan moral, religius dan kultural yang biasanya diturunkan oleh seorang ibu belum mendapat tempat yang efektif dan proporsional.
Jikalau ada optimisme bahwa upaya penyadaran(conscience formation) akan segera dilakukan secara intensif dalam lembaga keluarga dan gereja bagi generasi mendatang yang lebih berbobot secara moral, kultural dan intelektual, maka kelompok ‘pemerkosa’ saat ini dapat dianggap sebagai ‘generasi-retak’ yang niscaya tak akan bertahan lama.
Kalaupun muncul gugatan hak asasi yang bernuansa egaliter dan filosofis dalam pola-laku yang liberal-individualistik, maka sikap defensif yang ada dapat dijelaskan dengan dasar-pemikiran bahwa hak-personal mesti disesuaikan dengan kewajiban dan tanggung jawab sosio-moral, kultural dan religius yang menjadi basis dan tempat berpijak masyarakat hic et nunc. Konsepsi siapa yang menilai, di mana ia berkiprah serta norma sosio-kultural mana yang harus membatasi ruang-geraknya, dapat juga menjadi pedoman alternatif.
Dengan kata lain, mechanism of self-defense tersebut mendapat sentuhan nilai-nilai feminin dalam sosialisasi, internalisasi serta implementasinya hanya kalau diproses dan dipoles dalam lingkungan keluarga sebagai wadah pendidikan primer, lalu diperankan secara ideal, maksimal dan proporsional oleh seorang IBU lewat ‘telunjuk jarinya’ yang halus nan lembut. Dengan begitu, esensi hakiki di balik kewanitaan wanita secara positif dapat menjanjikan sikap dan perilaku yang ideal, beradab dan terpuji bagi generasi mendatang. Ini semua bisa terwujud kalau putra-putri Lorosae dilahirkan dan dibentuk dalam genggaman dan haribaan ‘ibu-pertiwi’ tercinta.
Selain itu, generasi baru perempuan yang hendak dibentuk misalnya dapat diimbangi dengan optimalisasi rasionalitasnya bila femininitasnya tetap dipertahankan sehingga citra dan identitas simbolik perempuan yang dinilai sensual, seksual dan sentimental bisa diterima dalam konteks hic et nunc tapi tidak harus dinomorsatukan demi peningkatan mutu SDM perempuan sendiri.*
***
*Penulis, Mantan Editor majalah LM dan Time Timor, Konsultan Gender, 
bekerja di JICA Timor-Leste Office, tinggal di Aimutin, Dili.

**)Tulisan ini telah diterbitkan secara bersambung di Majalah LM, Edisi XLVIII/10/07/2002.

1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.