Ini cerita tentang sebuah kedai kopi yang kosong di pinggiran pulau terpinggir dari Indonesia. Beberapa orang hebat tiba-tiba saja bertemu untuk sekadar bersenda-gurau di sana. Yesus Kristus (yang juga dikenal dengan Isa Al Masih) sambil menyerutup kopi mulai mengajak Nabi Muhammad, Sidharta Gautama dan Musa untuk mengelilingi satu-satunya meja di kedai kopi tersebut.
Sedang asyik memesan kopi tubruk yang sudah banyak dicampur jagung gosong, tiba-tiba masuk Konfusius dengan napas terengah-engah. Dia sedikit terlambat dalam acara ‘ngopi’ rutin tersebut. Oiya, telah ada semacam konsensus tak legal di antara orang-orang ini bahwa apa yang disebut sebagai TEOLOGI, Iman, Keyakinan, Kepercayaan tidak akan dibahas dalam per-kopi-an ini.
[Dunia sudah terlalu penuh dengan sarana-sarana, alat, wahana dan instrumen untuk menjangkau iman. Terang saja iman itu pergi dengan entengnya ke setiap sudut yang tidak bisa dijangkau manusia lagi. Manusia terlalu takut untuk hidup di tempat tersulit, yang sesungguhnya adalah tempat teraman baginya. Mereka lari dan menetap di tempat-tempat aman, comfort, sekalipun mereka tak pernah tahu bahwa itu adalah tempat yang paling berbahaya] demikian kata-kata Tao yang terpampang jelas di kasir kedai tersebut. Tao adalah pemilik kedai ini. Kedai yang kebetulan dibangunnya di tepi jurang, sebuah pulau yang paling terpinggirkan dari Indonesia.
Semua mereka berkumpul untuk menangisi serentak menertawakan hal-hal konyol yang terjadi di negara ini. Terkadang nama mereka dibawa-bawa oleh begitu banyak pemimpin politik dan agama, proposal untuk menjadi baik bagi diri sendiri selalu berhamburan di meja kerja mereka. Dan mereka hanya bisa menyaksikan semua itu dalam ngobrol ngalor ngidul di kedai kopi itu.
“Kopinya makin lama makin enak ya Tao. Formulamu benar-benar ampuh. Sekalipun semua ini seharusnya dimaknai sebagai minum jagung,” Konfusius mulai guyonan sore itu dengan memberi sedikit kritik buat Tao.
“Yah mau bagaimana lagi bro. Itu yang masih bisa didapatkan di pasar manusia. Jujur aja, campurannya 3 jagung 1 kopi. Yah saya akui memang banyakan jagungnya,” kata Tao dengan lembut.
“Lalu bagaimana mekanisme pasar di Indonesia sekarang? Siapa yang memegang kendali dan kuasa?” Nabi Muhammad bertanya pelan.
“Eits... jangan ke politik dan ekonomi! Ayo kembali ke rutinitas kita!” Yesus menimpali.
“Tersenyumlah! Tersenyumlah! Hanya dengan senyuman keindahan yang disekati angkara ini bisa terkuak dengan sendirinya. Mungkin dengan senyuman pula, dendam dan amarah bisa mereda,” Sidharta menyela pembicaraan setelah ikut menyerutup kopi jagung bak arang ini.
Yesus Kristus menyetujui ajakan Sidharta dengan anggukan kecil. Bibirnya mulai mengulum sebuah senyum kesejukan yang diarahkannya pada semua yang tinggal di Indonesia. Semua yang miskin dan bersengsara, pemilik sejati Surga Bapa-Nya. Ia tersenyum pada begitu banyak pengikutnya yang tidak mau memberi pengampunan pada mereka yang sudah terlanjur salah. Ia tersenyum pula pada mereka yang senantiasa memberi kolekte pada hari Minggu sedang dari Senin sampai Sabtu mereka memeras, menekan yang kecil bahkan menghisap saudara/i sendiri hingga korupsi dan menyudutkan bangsa ini pada titik yang hampir tidak bisa dibalikkan lagi. Ia tersenyum ketika kasih hendak dibarter dengan materi, kuasa dan kewibawaan semu.
Di depan Kristus, Muhammad ikut tersenyum. Senyumannya diarahkan pada semua mereka yang boleh jadi telah salah menafsirkan ajaran ilahi yang diterimanya dalam wahyu agung. Kata-kata suci yang disampaikan kepadanya dipersempit oleh mereka yang boleh jadi tidak pernah mengerti dengan tuntas apa itu JIHAD. Ia tersenyum ketika barokah bagi negeri terindah ini coba ditendang keluar oleh tindak para teroris. Pun ia tersenyum kepada mereka yang ‘sok pahlawan’ dengan memberantas para (mungkin) teroris tanpa menggunakan akal sehat. Menembaki manusia secara sembarangan kemudian membenarkannya lewat media yang juga ciptaan dan rekayasa kapitalis manusia.
Masih dalam senyuman yang sama, Konfusius yang mengedepankan akal dan kerendahan hati melambungkan senyumannya pada semua mereka yang menjadi korban perdagangan tidak sehat, mereka yang merugi akibat kelicikan dalam berusaha. Senyum kebijaksanaannya pun ia sunggingkan bagi mereka yang loba dalam menjalankan bisnisnya. Mereka yang tidak pernah bertanggung jawab terhadap sesama dan alam semesta. Mereka yang tidak lagi mau memerhatikan harmoni dan keseimbangan. Ia tersenyum dan terus tersenyum bahkan ketika pribumi negeri ini ditekan dari sisi hitung-hitungan untung-rugi yang semakin menghitamkan bagian putih bola dunia. Yin-Yang hampir disulap menjadi bulan mati.
Seraya ikut larut dalam senyuman sederhana itu, Tao menatap air mata bumi yang tumpah. Pertiwi ditelanjangi, pertiwi dihina dan dilukai. Senyumannya dipersembahkan di altar lingkungan hidup Nusantara yang kini mungkin tak lagi bisa tersenyum. Lautan sudah menjadi cairan hitam pekat, gunung-gemunung diratakan untuk real estate, hutan dibabat habis dan sungai-sungai dilarang berjalan ke kota. Ia tersenyum.
Sidharta sudah lebih dahulu menyimpan senyumannya untuk negeri elok di antara dua benua dan dua samudra ini. Ia tersenyum dalam teduh tapanya, mengharapkan penerangan ilahi bagi penghuni negeri ini agar jembatan antara nirwana dan dunia ini tidak diputus oleh murka manusia sendiri. Senyum diamnya berisi keteduhan dan kedamaian.
Semua mereka mengharapkan manusia-manusia yang menyembah ke-ILAHI-an bisa tersenyum dan BANGKIT, setidaknya untuk diri mereka sendiri, sesama dan lingkungan sekitarnya. Masih ada waktu untuk ‘kembali pulang ke negeri sendiri’ dan tidak pernah ada halangan untuk katakan Indonesia terlalu kuat untuk berubah.
______________________
Di seberang jurang yang lain, dalam sebuah warung kopi yang lain, duduk Marx, Nietzsche, Gramsci, Habermas, Marley dkk melingkari meja kopi jagung juga. Namun, masih ada teman kopi yang lainnya, ada cerutu Kuba, Nasi aking dan beberapa lembar ganja kering. Alunan reggae menemani obrolan mereka di sudut perjuangan yang mungkin sama. (To be continued...)
Ermalindo AJ Sonbay
No comments:
Post a Comment