Jun 17, 2011

Suatu Malam di Jakarta

Jalan menuju bandara Soekarno-Hatta
Saya tidak tahu-menahu ini jalan apa dan itu jalan siapa. Semua begitu asing bagiku di perjalanan malam itu. Tiba-tiba supir taxi mengatakan bahwa jalan menuju Mall Ambassador macet total. Saya terkejut dan bertanya-tanya dalam hati, apakah jalan benar-benar macet ataukah supir taxi memainkan aksinya karena mengetahui saya tidak tahu apa-apa soal Jakarta. 

Tanpa saya meminta, supir taxi menawarkan untuk menurunkan aku di Plaza Semanggi, yang menurut pak supir juga sangat lengkap, tidak kalah dari Mall Ambassador. Saya ragu, tetapi tidak nampak keraguanku. Saya lebih memilih kembali ke hotel Atlantic tempat aku menginap, tetapi saya sudah tidak punya uang rupiah, dari mana untuk membayar taxi dan bagaimana biaya transport besok pagi-pagi buta ke bandara. Sementara pulsa mobile aku zero, bagaimana bisa memanggil temanku. Malam kian larut. Aaah ini supir taxi pandai beraksi, pikirku dalam hati. 

Saya memutuskan untuk pergi ke Plaza Semanggi, sambil bercerita banyak soal kemacetan kota Jakarta bermodalkan berita Metro TV, seolah-olah saya mengenal seluk-beluk kota Jakarta. Saya sebut semua jalan yang sempat saya ingat, dan berlahan saya menguasai pembicaraan, pak supir hanya bisa mengamini. Tetapi dalam hati saya masih penuh tanda tanya, ke mana saya dibawa, kapan dia akan berhenti, di mana Plaza Semanggi, uuufff malam makin gelap saja di tengah sorotan lampu-lampu ibu kota. 

Akhirnya sampai juga di Plaza Semanggi, lega rasanya, good bye om supir.  Saya bergegas mencari tempat 'money changer'  dan selesailah urusan tukar-menukar uang. Saya tergoda untuk sekedar berkeliling memanjakan mata di tengah keramaian hingga menemukan tempat penjualan pulsa 'top up' simpati, hanya dengan 20 ribu rupiah saya bisa telepon berjam-jam, kini saya merasa aman. 

Perjalanan kembali ke hotel tidak kalah seru, kali ini bukan soal kemacetan, tetapi soal kontraktor. Sebelumnya saya dapat konfirmasi dari supir taxi baru ini bahwa tadi memang jalan menuju Mall Ambassador benar-benar macet. Jadi, supir yang tadi tidak membohongi saya, aah ternyata masih ada orang jujur di Jakarta. 

Supir taxi yang baru lebih pandai berbicara, nampaknya dia sedikit berpendidikan tinggi. Dia memandang saya dari segi yang berbeda, dia dengan sangat yakin memastikan bahwa saya seorang pengusaha kontraktor, hahaha dari hongkong kali. "Kalo bapak mau, saya bisa perkenalkan bapak kepada bapak ini dan bapak itu" begitu percakapannya berapi-api. Seolah-olah dia mengenal semua kontraktor dalam dan luar negeri yang ada di Jakarta. Asyiik juga ini orang, pikirku. 

Daripada dia sendiri yang berbicara tiada akhir, saya memotongnya. "Baguslah kalo bapak punya banyak relasi, soalnya untuk mendapatkan satu proyek zaman sekarang harus pandai kebanyakan harus lewat jendela" kataku sekenanya saja. saya pun melanjutkan "kalo saya lebih berfokus pada Indonesia bagian Timur, lebih khusus lagi di Nusa Tenggara Timur", seperti saya mengyakan anggapan dia bahwa saya seorang kontraktor hahaha. dia semakin bersemangat, sampai  menyebut orang NTT yang paling berpengaruh di Jakarta, dan setiap proyek besar untuk NTT melalui orang itu, dan seterusnya tiada akhir. Arrgghh lama-lama kedok aku terbongkar, karena memang aku tidak tahu apa-apa soal apa dan siapanya NTT yang berpengaruh di Jakarta. Dia terus berbicara sementara saya memikirkan cara lain untuk mengalihkan perhatian dia atau paling tidak yang dia tidak tahu menahu. 

"Sekarang saya lagi fokus membangun jaringan untuk bisa masuk ke Timor Leste" kataku memotong. "Saya melihat ada peluang besar di sana. Mereka sedang membangun dari kehancuran tragedi 1999". Pak supir taxi serius mendengarkan. "Jadi saya tidak memikirkan proyek-proyek yang ada di Jakarta,  ada beberapa teman pengusaha yang sedang menunggu saya di hotel, kami akan membicarakan peluang masuk ke Timor Leste." Padahal yang menanti di hotel adalah tempat tidur dengan 'packing' sudah lengkap siap pulang kampung. 

Pak supir taxi mulai bengong, karena memang dia tidak tahu apa-apa soal Timor Leste sama seperti saya tidak tahu apa-apa soal Jakarta. Biarkan pak supir taxi berbangga telah bertemu dengan seorang "pengusaha kontraktor" muda berbakat yang akan membuka sayapnya ke luar negeri hahaha dan saya dengan aman tiba kembali di hotel sambil membayangkan pengalaman semalam di Jakarta bersama dua orang supir taxi. 

Jakarta, Februari 2011

No comments: