Jun 19, 2011

Kita Adalah Embun di Bawah Matahari

Monika Nia Liman
Monika Nia Liman
“Aku tak akan meninggalkanmu,” katamu setiap kali kita menyudahi percumbuan. Aku tertawa. Sebab aku tak percaya. Sebab kau laki-laki. Sebab kau kira perempuan selalu senang digombali.
“Kau bohong!” kataku melepas pelukanmu. “Kau hanya mempermainkanku.”
“Aku tak memaksamu untuk mempercayaiku. Tapi aku sayang padamu,” kau remas jemariku seperti memelas kepercayaan. Aku tertawa lagi.
“Ahh. Kau tak benar-benar sayang padaku. Kau hanya datang padaku di sisa waktumu. Aku ini hanya sebuah dermaga kecil tempat kau menambatkan kelelahan hiruk-pikuk hidupmu.”


“ jangan katakana begitu. Tidak cukupkah kita saling bicara, bertukar segala yang ada di otak, dan kemesraan selama ini?”
“Tidak. Tidak cukup. Kau tak pernah banar-benar ada bagiku. Aku membutuhkan yang lain”
“Seperti apa?”
“Seluruh waktumu. Segala dirimu.”
“Ooh.. Sayang.. Kau tahu, betapa kita cuma memiliki sedikit waktu. Betapa kita tak mudah bertemu. Bahkan saat bertemu dalam waktu yang sedikit itu kita tak dapat berbuat apapun dengan wajar. Tiada tempat yang aman bagi kita. Kita ini pencuri waktu..”  katamu sembari mengeja tubuhku perlahan.
Aku diam. Tak dapat kunikmati tarian bibrmu di bentangan tubuhku. Yahh. Kita adalah pencuri waktu. Kita hanyalah selingan bagi kita masing-masing. Kita adalah pembangkang terhadap kesetiaan. Dan kesetiaan itu amat terbatas. Hanya setetes yang kita kecap, tapi kita sungguh-sungguh tenggelam.
 Kudorong tubuhmu menjauh.
“Kenapa?” desahmu.
“Isterimu. Aku teringat padanya”
“Aku tak ingat siapa pun.”
“Tidakkah kau ingat siapa diriku?
“Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling repot dengan siapa diri kita?!”

Dan waktu yang telah sengaja kita curi sebentar lagi usai. Kita akan kembali pada bumi masing-masing. Bumi yang telah bertahun-tahun sebelumnya kita diami bersama orang-orang terdekat kita. Bumi yang penuh dengan pematang berilalang dan perlahan-lahan mulai gersang. Dan pematang-pematang itu tak cukup untuk menyembunyikan kita yang rebah di baliknya. Kita hanya embun yang bila saja terlambat menghindari matahari,  akan menguap menjadi tak ada.  
“Aku tidak bisa meninggalkanmu, sekalipun aku ingin meninggalkanmu,” kau mereguk embun di bibirku. “Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa berlama-lama di sini”
Pergilah ke mana hati membawamu.”
“Ahh! Itu kan judul novelnya Susana Tamaro!” kau tertawa. Lalu kita tertawa. Berhamburan. Seperti gerimis yang hadir di sekeliling kita. Kita basah dalam keriangan. 
“Aku mencintaimu”
“Aku sayang padamu,”
Lalu kita berpisah di sebuah persimpangan tempat aku biasa menantimu setelah mengendap-ngendap terbang meninggalkan bumiku. Ya, setiap kali kau katakan cinta, aku katakan sayang, sampai semua terasa gombal. Mau apa kita sebenarnya?
“Apakah kau anggap ini hanya permainan?” tanyaku ke sekian kali pada suatu waktu.
“Mungkin kita hanya main-main. Bukan aku, tapi kita..”
“Tapi aku tak main-main” bantahku.
“Dengar, aku sudah kehilangan kesetiaanku. Dan itu cukup. Aku tidak mau kehilangan isteriku, anakku, kemapananku, dan kebahagiaanku selama ini.”
“Kau rakus! Kenapa kau mau jadi kekasihku?”
“Kekasihmu? Kurasa tidak. Kita hanya sedikit bertransaksi, saling menukar sedikit kesenangan tanpa terlalu merugikan masing-masing.
“Kau hanya ingin mempermainkan aku!” teriakku marah.
“Aku mencintaimu. Aku sayang padamu. Sungguh. Tapi ada yang tak dapat kita ubah begitu saja. Bukankah kau juga tak ingin kehilangan segalanya? Kita hanya kehilangan kesetiaan kita. “
“Tapi aku tak bisa melepaskanmu! Aku tak mau kau meninggalkanku!”
“Katamu dulu aku tak pernah benar-benar ada bagimu. Maka aku pun tak benar-benar hilang darimu. Percayalah. Aku mencintaimu. Hanya itu yang aku bisa. Aku tak dapat melepas keluargaku. Dan aku tak akan pernah meninggalkanmu.”
                                                                                           ***
Ahh.. kekasih.. Ini kali aku tak dapat tertawa. Sebab kata-katamu itu hanya hadir dalam kenanganku. Kau pergi. Kau tinggalkan segalanya. Kau tinggalkan hidupku. Juga hidupmu. Kau tinggalkan jejak yang tak terhapus dalam diriku. Sekian lama kau ada di sini, terbiasa bersamaku, berbaring dan terjaga bersama, tertawa, mendiamkan sakit atau pun luka, tak henti saling dekap. Kupikir kau terus ada, bagi kita, dan yang lain. Tapi kau pergi. Yah. Kau benar-benar telah pergi. Kau nyalakan api dan kau pikir ia akan padam dengan sendirinya, tapi api itu malah meninggalkan bara yang panas dan aku terbakar olehnya. Ohh.. Kekasih.. Katakan.. Katakan padaku, apa yang mesti kuperbuat? Bagaimana harus kuhadapi dunia? Katakan..
Senja semakin gelap, sehelai daun jatuh. Lonceng Angelus berdentang. Dan perempuan berkerudung putih itu masih duduk di hadapan sebuah Salib tua. Menangis. Ada sesal bersemburat. Mungkin juga putus asa. Ia menangis. Air mata mengalir ke wajahnya, berjatuhan ke atas perutnya yang tampak mulai membuncit. Diambilnya pisau yang tergeletak di hadapannya, diarahkannya ke pergelangan tangan kirinya. Ia menangis. Madah Vesper dari kapel di seberang kamarnya disenandungkan perlahan. ia masih menangis. Dan terus menangis. Tak lama kemudian, sunyi.

No comments: