Sebelas tahun lepas berpisah dari Indonesia, Timor Leste termasuk yang tak pernah selamat dari pedang kritik bangsa-bangsa yang menganggap diri lebih beradab, maju dan tahu banyak soal demokrasi dan nasib bangsa lain. Tapi di sana, ada Perdana Menteri Xanana Gusmao dan untuk itu, orang Timor Leste nampaknya patut bersyukur.
Di Dili awal pekan lalu, tepat di hari kemerdekaan, dia berbicara tentang sesuatu yang menjadikan negaranya sukar dipandang sebelah mata lagi; sebuah suara kritis yang mungkin mengingatkan orang pada nada-nada perlawanan atas ketidakadilan global yang kerap terdengar dari sosok Mahmoud Ahmadinejad di Iran dan Hugo Chaves di Venezuela.
Kata Kantor Berita AFP, Xanana melepas kritik bersulfur pada Persatuan Bangsa-Bangsa dan pada unit kerja badan dunia itu di Timor Leste yang menurutnya telah “menginjak-injak kedaulatan negara”. Sebelumnya, dalam sebuah dokumen yang kemudian bocor di media, unit kerja PBB di Timor Leste mengkritik kepemimpinan Xanana, menyebutnya sebagai “penghambat” gerak maju “demokrasi”.
Kata Xanana, justru PBB lah yang semestinya memperbaiki diri.
Dari 2000 hingga 2008, katanya, “komunitas internasional” telah membelanjakan US$ 8 miliar di Timor Leste yang luasnya tak seberapa. Hasilnya: “tak ada pembangunan fisik yang berarti dan kemiskinan justru kian menjadi.”
Ini nampaknya kecaman paling keras yang pernah terdengar dari pejabat senior Timor Leste, sebuah tamparan keras bagi negara-negara yang selama ini memposisikan diri sebagai ‘patron’, ‘dewa penyelamat’ Timor Leste setelah lepas dari Indonesia – dan mereka termasuk Australia, Amerika dan Portugal.
Xanana juga melontarkan arsenal berdaya ledak tinggi pada warganya yang memilih bekerja sebagai ‘staf ahli’ PBB demi beberapa lembar ‘dolar’ dan ikut membantu lembaga PBB menyusun ‘kajian ilmiah’ atas dinamika ‘demokrasi’ di Timor Leste.
Dia bilang orang-orang itu mengidap sejenis penyakit, “bermental kolonialis”, terlibat dalam “kolonialisme intelektual”.
Katanya, PBB dan orang-orang Timor Leste yang mereka pekerjakan sebagai ‘ahli’ dalam urusan demokrasi, pembangunan dan resolusi konflik, sebaiknya fokus pada nestapa orang-orang di Irak, Afghanistan, Pakistan – tiga negara yang menjadi bulan-bulanan tentara Amerika Serikat dan NATO – dan memberi perhatian besar pada geliat ‘demokrasi’ di Yaman, Syria, dan Libya.
Dia juga bilang kalau “ahli-ahli” Timor Leste di PBB “perlu” bekerja untuk Presiden Barack Obama, siapa tahu mereka bisa membantu sang presiden membereskan US$ 14,5 triliun utang Amerika dan kerusakan ekonomi dunia yang dipicu keserakahan institusi keuangan swasta Amerika pada 2009.
Orang bisa jadi segera mencibir, menuding Xanana sedang berusaha menimpakan seluruh kekurangan negaranya pada pihak asing. Tapi dengan melontarkan kritik setajam pekan lalu, Xanana telah mengirim pesan moral yang tinggi; kalau kedaulatan negara perlu jadi perhatian semua orang dan bukan zamannya lagi negara-negara ‘maju’ dan ‘lembaga-lembaga dunia’ untuk berlaku layaknya pasukan kolonial yang merasa ahli dan paling berhak menjatuhkan palu moral dan penilaian dalam urusan negara berdaulat.
Pidato lengkap Perdana Menteri bisa klik di sini: http://jano-buti.blogspot.com/2011/05/diskursu-pm-kay-rala-xanana-gusmao-iha_18.html
Pidato lengkap Perdana Menteri bisa klik di sini: http://jano-buti.blogspot.com/2011/05/diskursu-pm-kay-rala-xanana-gusmao-iha_18.html
Arsenio Ribeiro
No comments:
Post a Comment